Senin, 05 Desember 2016

Legenda Poppo dan Parakang

Mistik Bugis Legenda Poppo dan Parakang

Bugis Makassar - Mistik Bugis Legenda Poppo dan Parakang, Poppo’ atau ada juga yang menyebutnya Peppo’ menurut kepercayaan orang di tanah bugis adalah sejenis siluman perempuan yang bisa terbang. Ada sebuah kisah tentang poppo yang konon pernah terjadi di sebuah kampung. Suatu hari, Puang Imang bersama semua keluarganya meninggalkan rumahnya karena seorang keluarganya mengadakan pesta pernikahan di daerah lain. Malam harinya, rumah Puang Imang dimasuki oleh poppo yang, sekali lagi, konon ingin mencuri. Setelah barang-barang yang mau dibawa pergi telah dibungkus dengan sarung, poppo itu tak bisa keluar dari rumah Puang Imang. Katanya, menurut pengakuan poppo itu, ia melihat dirinya dikepung air seperti laut yang tak memiliki pantai.

Setelah Puang Imang kembali, ia menemukan poppo telah berubah wujud menjadi seorang perempuan cantik berambut panjang telanjang berdiri di ruang tengah rumahnya. Ternyata rumah Puang Imang, sebelum ditinggalkan, telah disappo (dipagari) dengan baca-baca (mantera) sehingga poppo itu tak bisa keluar. Poppo itu kemudian diberi sehelai pakaian oleh istri Puang Imang dan dibiarkan pergi. Namun sebelumnya untuk membuat perempuan itu jera, rambut panjangnya dipotong nyaris habis.


Poppo menurut kepercayaan orang bugis selain dikenal sebagai hantu pencuri juga suka mengisap darah, utamanya perempuan yang sedang melahirkan. Poppo dipercaya juga suka berada di kebun jagung atau kebun di mana banyak buah-buahan. Kesukaan poppo berada di pohon yang berbuah itu kadang digunakan oleh orang (yang berani) di musim mangga berbuah. Poppo yang ‘hinggap’ di cabang pohon mangga akan menjatuhkan buah-buah mangga matang sesuai permintaan sang pemilik.

Tentang parakang, selain suka mengisap anus orang sakit ada beberapa hal menarik lainnya. Jika seorang parakang sedang sekarat menghadapi sakratul maut, ia akan tarus mengulang-ulang kata (l)emba (pindah) sampai ada seorang dari keluarganya yang mengiyakannya. Setelah itu, orang yang mengiyakan itu akan menjadi parakang selanjutnya. Jika menemukan parakang, misalnya dengan wujud pohon pisang, orang dianjurkan untuk memukulnya sekali atau tiga kali saja. Jika sekali pukul dipercaya akan membunuhnya dan tiga kali akan membuatnya cacat.

Itulah mengapa perempuan tetangga saya yang pindah itu dianggap parakang karena berjalan seperti orang dengan lutut kesakitan. Menurut orang-orang, suatu malam, perempuan itu tertangkap basah berwujud kambing dan dipukul dengan potongan kayu dilututnya sebanyak tiga kali. Sejak saat itulah ia berjalan dengan cara yang aneh. Dua hantu itu, parakang dan poppo adalah hantu paling populer di kampung kami. Saking populernya sewaktu saya masih anak-anak Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 kami plesetkan menjadi poppo, parakang pakkanre pello (poppo, parakang pemakan rektum).

Poppo dan Parakang bagi orang bugis dipercayai adalah semacam hukuman turun temurun akibat kesalahan atau pelanggaran nenek moyangnya sehubungan dengan ilmu hitam yang dipelajarinya di masa lampau.

Bugis “Assikalaibineng”

Rahasia Ilmu Seks Ala Lontara Bugis “Assikalaibineng”

Bugis Makassar - Mengukur Kejantanan dari Hembusan Nafas Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata serupa juga dipakai masyarakat petani sawah di awal masa tanam. Karena padi dan sawah diibaratkan istri, maka suamilah diberi otoritas untuk menggarap dan menanam.

Karena ajaran lahir di masa kuatnya paternalistik dan belum ada gerakan persamaan gender, makanya ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini lebih banyak ditujukan kepada suami. Kitab ini paham betul emosi perempuan dan karena perasaan malunya mereka amat jarang menjadi inisiator.

Rahasia Ilmu Seks

Inilah yang sekaligus menjelaskan mengapa ilmu tarekat atau tasawuf seks ala Bugis-Makassar ini diajarkan terbatas ke calon mempelai pria, memilih momentum beberapa hari sebelum akad nikah.

Setelah pengetahuan mandi, berwudu, dan salat sunah lalu tafakur bersama yang disebut nikah batin, maka sampailah pada tahapan lelaku praktis, cumbu rayu, penetrasi, dan masa pascaberhubungan.

Karena konsep Assikalaibineg mengedepankan ideologi dan tata krama, disarankan agar sebelum aktivitas penetrasi dimulai dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.

Masyarakat Bugis, seperti dikemukakan Christian Pelras dalam bukunya, Manusia Bugis (Oxford: Blackwell, 2006) memang memiliki sarung khusus yang bisa memuat sepasang suami istri.

Sarung jenis ini tentu sangat susah didapat di pasar-pasar sandang kebanyakan.
Namun toh, selimut bisa menjadi alternatif.
Buku ini menggunakan istilah makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium) untuk tahap foreplay.
Ini dengan asumusi pihak pria sudah mengetahui 12 titik rangsangan, dan rangkaian mantra (paddoangeng).
Meraba lengan adalah titik pertama yang disarankan dikarawa, sebelum meraba atau mencium titi-titik lainnya. Pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka.
Titik “rawan” istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung).
Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar).
Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap tenang dan mengatur irama naffaseng (nafas).
Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al’jima atau ajaran berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.
Apakah melafalkan zikir itu bersuara? Tentulah tidak. Zikir dan mantra dalam bahasa Bugis itu dilafalkan dalam hati.
Dalam komentar penulis buku ini,menyebutkan, ejakuliasi dini oleh pria banyak terjadi karena pikiran suami terlalu fokus ke pelampiasan untuk mencapai klimaks.
Perlu diketahui, seperti ajaran agama Islam, kitab Assikalaibineng bukan seperti buku-buku lain yang mengajarkan gaya dan teknis bersenggama dan melampiaskan nafsu belaka.
Laiknya ibadah, inti dari ajaran Assikalibineng adalah mengelola nafsu birahi ke arah yang lebih positif dan bermanfaat secara spiritualitas.
Bukankah seperti kata Nabi Muhammad SAW usai memenangkan Perang Badar, kepada sahabatnya yang bersuka, diperi peringatan, bahwa Perang Badar belum ada apa-apanya.
Perang terbesar manusia Muslim adalah bagaimana menahan hawa nafsu.
Dan nafsu yang amat sulit ditahan oleh manusia secara pribadi adalah nafsu birahi setelah nafsu ammarah (emosi kejiwaan).

Di bagian lanjutan tulisan ini, nantinya akan mengulas beberapa lafalan teknik menahan nafas.
Namun, bagian lain halaman buku itu juga diberikan tips parktis untuk mengetahui apakah seorang suami siap berhubungan seks atau tidak, maka disarankan bagi pria untuk mengangkat tangan kirinya, lalu menghembuskan nafas dari hidung.

Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda kejantanan yang bangkit.Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu (hal 141).

“.. dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria…”. (thamzil thahir)

Pesan singkat salah seorang pembaca Tribun di atas, hanyalah satu dari seratusan pertanyaan dan eskpersi senada yang masuk ke redaksi, sejak tulisan ini muncul pekan lalu.
Muhlis Hadrawi, penulis buku ini, senantiasa mengingatkan di bagian awal, tengah, dan mengunci di akhir bab tulisannya, bahwa Assikalaibineng bukanlah ilmu pelampiasan hasrat biologis sebagai wujud paling alamiah sebagai makhluk saja.
Penulis menggunakan istilah tasawupe’ allaibinengengnge untuk menjelaskan kedudukan persetubuhan yang lebih dulu disahkan dengan akad nikah dan penegasan kedudukan manusia yang berbeda dengan binatang saat melakukan persetubuhan.

Ini juga sekaligus wujud penghormatan dan menjaga martabat keluarga dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah (hal 123).

Pada bagian awal bab tata laku hubungan suami-istri, Muhlis mengomentari satu dari tujuh manuskrip Assikalaibineng yang menjadi rujukan utamanya menulis buku ini.

Dikatakan ini sebagai pustaka penuntun tata cara hubungan seks untuk suami-istri sebagai ilmu yang dipraktikkan Sayyidina Ali dan Fatimah.

Muhlis memulainya dengan kisah perbincangan tertutup Ali dan istrinya, yang juga putri Nabi, di tahun ketiga pernikahan mereka.

Perkawinan keduanya menghadapi satu masalah sebab Ali belum mengetahui dengan benar bagaimana tata cara menggauli Fatimah.

“Kala itu,” tulis Muhlis, “Fatimah mengeluarkan ucapan yang menyindir Ali, “Apakah kamu mengira baik apabila tidak menyampaikan titipan Tuhan?”
Ali kontan merasa malu dan sangat bersalah. “Ali mulai sadar kalau ia belum memberikan apa yang menjadi keinginan Fatimah di kamar tidur. Maka Ali meminta Fatimah memberitahu keinginan Fatimah dan memintanya untuk mempelajarinya.”

“Fatimah pun merekomendasikan Muhammad Rasulullah, yang tak lain bapak Fatimah. Datanglah Ali ke Nabi Muhammad dan selanjutnya terjadilah transfer pengetahuan dari bapak mertua kepada anak menantu.”

Transfer ilmu atau proses makkanre guru seperti ini amat biasa dalam tradisi Bugis-Makassar, khususnya keluarga yang mengamalkan ajaran tarekat-tarekat.

Kisah di atas sekaligus menjelaskan bahwa lelaku dan zikir Assikalaibineng tak terlambat untuk dipelajari.

Memang idealnya, tata laku hubungan Assakalaibineng ini diajarkan di awal masa nikah, namun bagi mereka yang ingin mengamalkannya hanya perlu membulatkan tekad, untuk mengubah cara padangnya, bahwa hubungan suami-istri versi Islam yang terangkum dalam lontara ini, berbeda dengan literatur, hasil konsultasi, atau frequent ask and question (FAQ) soal seks yang selama ini sumber dominannya dari ilmu kedokteran Barat.

Pada sub bab Teknik Mengendalikan Emosi Seks atau Hawa Nafsu (hal 150), buku ini menyajikan laku zikir untuk mengiringi gerakan seksual dari pihak suami.

“lelaku zikir ini menjadi penyeimbang nuansa erotis dan terkesan tidak vulgar.”

Teknik mengatur napas adalah inti dari ketahanan pihak suami.

Untuk menjaga endurance napas suami agar istrinya bisa mencapai orgasme, misalnya, saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas.

Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”.
Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung.

Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris bagian kiri).

Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri!

“Mmupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae/ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna/…..! Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe)/tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau…., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu/subhanallah../”

Artinya, “….arahkan zakarmu, dan bacalah ini/Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna/….kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, … ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali….

Penggunaan kata timungeng bunga sibollo sekaligus menunjukkan bagaimana para orang Bugis-Makassar terdahulu mengemas ungkapan-ungkapan erotis dalam bentuk perumpamaan yang begitu halus dan memuliakan kutawwa makkunraie (alat kelamin perempuan), dan ungkapan kalamummu (untuk zakar). (thamzil thahir)

Terapi Kelingking Untuk Tetap Langsing
Lapawawoi Karaeng Sigeri, Raja Bone yang terkenal cerdas, termasuk seorang suami yang mempelajari dan mengamalkan ajaran assikalaibineng. Stidaknya fakta ini dikonfirmasikan dari lontara Mangkau Bone Ke-31 ini yang secara rapi terdokumentasikan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.

Manuskrip asli ini pulalah yang menjadi satu dari 44 lontara rujukan utama Muhlis Hadrawi, penulis buku Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, yang diterbitkan Penerbit Ininnawa, Makassar (2008).

Secara teknis buku ini terdiri dari 189 halaman. Sebanyak 64 halaman terdiri dari transliterasi asli “kitab assikalaibineng” lontara ke dalam abjad melayu berikut terjemahannya. Inilah matan asli dari kitab tassawupe allaibainengengeng yang merupakan peninggalan leluhur Bugis-Makassar yang teleh terpengaruh dengan ajaran Islam.

Karena buku ini merupakan disertasi untuk meraih gelar magister bidang filologi (ilmu tentang Bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa dalam bentuk manuskrip asli) di Universitas Indonesia, maka 51 halaman di bagian awal lebih banyak mendiskripsikan latar belakang, asal usul naskah, dan metodologi penelitian.

Sedangkan di bagian akhir, Tata Laku Hubungan Suami Istri, isinya lebih merupakan ringkasan, analisis, sekaligus komentar penulisnya, yang diperkaya dengan literatur penunjang. Namun, bagi pembaca awam yang tidak lagi mengerti Bahasa-bahasa Bugis terhadulu, justru bab akhir inilah yang membatu mendapatkan intisari dari manuskrip tua, yang hingga awal decade 2000, masih beredar di kalangan elite terbatas, masyarakat kita.

Kepemilikan naskah ini oleh Lapawawoi yang kini dimuseumkan di Perpustakaan Nasional, tulis Muhlis, mempertegas sirkulasi ajaran ini selain dimiliki kalangan ulama/cendekia pesantren, pengetahuan ini juga milik bangsawan dan raja-raja Bugis Makassar.

Selain pengetahuan bersetubuh ala bugis, Kitab Persetubuhan Bugis, juga mengajarkan sistem rotasi waktu yang baik untuk berhubungan, dan tata cara perawatan tubuh bagi pihak suami dan istri. Tata laku dan tahapan ini semua dilakukan dalam satu rangkaian dan satu tempat

Untuk melangsingkan tubuh dan memperhalus kulits istri misalnya, suami tak perlu repot-repot menyisihkan uang dan mengantar pasangannya ke pusat kecantikan tubuh. Seperti spa center, steam room Jacuzzi, atau membayar kapster salon.

Di kitab mengajarkan rutinitas kesederhanaan namun tetap dalam bingkai kerahasiaan, tidak diketahui oleh orang banyak.

Untuk menjaga kebugaran tubuh, assikalaibineng misalnya merekomendasikan di kamar tidur dan massage (pijitan) rutin pasca-bersetubuh. Sedangkam untuk perawatan kulit, juga tak perlu cream pelembab atau whitening motion,

Kitab ini mengajarkan manfaat penggunaan “air mani” sisa yang biasanya meleler di bagian luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab, secara subtansial lebih merupakan niat, sekaligus ekspresi kasih-sayang suami kepada istri pasca-berhubungan,

Kitab ini menyindir perilaku suami yang langsung tidur lelap atau langsung meninggalkan kamar tidur, sementara istri belum mendapatkan kepuasan, biasanya akan membuat wanita terhina. Di kitab ini. Perlakuan itu diistilahkan dengan, teretta’na narekko le’ba mpusoni (adab setelah persetubuhan).

Rekko mangujuni ilao manimmu takabbereno wekka eppa/urape’ni alemu, nupassamangi makkeda; alhamdulillahahi nurung Muhammad habibillah./ nareko purano mualai wae, muteggoi bikka tellu, nareko purano, mualani minyak pasaula, musaularenggi kutawwamu apa napoleammengi dodong mupogaukangeki paimeng/Apa’ nasenggao manginggi’/ Aja mu papinrai gaumu denre purai mupogau, iya na ritu riyaseng temanginggi.

Kira, kira artinya bebasnya, jika air manimu sudah keluar maka bertakbirlah empat kali. Kemudian turunkan tubuhmu dan ucamkan hamdalah dan pujian ke nabi Muhammad. Jika engkau sudah melakuklannya, maka lakukanlah perbuatan yang menyenangkan perasaanya. (h.76) sebagai tanda sayang. Jika usai minumlahair dengan tiga tegukan, dan ambilah minyak gosokdan urutlah kelaminmu agar tubuhmu pulih kembali dan agar jagan sampai kalu lelah. Janganlah kamu mengubah perbuatanmu seperti yang kamu lakukan sebelumnya, demikianlah maka kamu akan disebut lelaki yang tidak merasa bosan dengan istrinya,”

Sedangkan tahapn selanjutnya, usai berhubungan, ambilah air mani dari liang fajri yang sudah bercampur dengan cairan perempuan. Letakakkanlah di telapak tangan mu, air mani dicampur dengan air liur dari langit-langit (sumur qalqautsar) suami, sebelum mengusap air mani tersebut ke tubuh istri, terlebih dulu membaca doa dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Mani riparewe, tajang mapparewe, tajang riparewekki…”

Aiar mani basuhan ini bisa dipijitkan ke titik-tikik 12 rangsangan agar tidak kembeli berkerut, atau memijit bagian panggul dengan tulang kering di ujung bawah jari kelingking, untuk membuat tubuh istri tidak melar tapi tetap ceking.. (thamzil thahir)

Mau Anak Putih, Bersetubuh Setelah Jam 5 Subuh
TEKNIK bertahan dalam persetubuhan menjadi hal yang sangat penting dan mendapat tempat khusus dalam Assikalaibineng. Dan sekali lagi, pihak suami menjadi faktor kunci.

Kitab peretubuhan Bugis ini tahu betul bahwa pihak suami senantiasa lebih cepat menyelesaikan hubungan ketimbang perempuan. Menenangkan diri, sabar, konsentrasi, dan memulai dengan kalimat taksim amat disarankan sebelum foreplay.

Manuskrip Assikalaibineng amat mementingkan kualitas hubungan badan ketimbang frequensi atau multiorgasme. Assikalaibineng adalah ilmu menahan nafsu, melatih jiwa untuk tetap konsentrasi dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu.

Namun pada intinya, Assikalaibineng bukanlah lelaku atau taswawwuf untuk berhubungan badan, lebih dari itu assikalaibnineng adalah tahapan awal untuk membuat anak yang cerdas, beriman, memiliki fisik yang sehat. Inti dari ajaran ini adalah bagaimana membuat generasi pelanjut yang sesuai tuntutan agama.

Banyak teori seksualitas mengungkapkan bahwa potensi enjakulasi sebagai puncak kenikmatan seksual bagi laki-laki lebih tinggi ketimbang perempuan. Perbandingannya delapan kali untuk suami, dan satu kali bagi istri.

Bahkan, dapat saja seorang istri tidak pernah sekalipun merasakan orgasme seteles sekian kali, bahkan sekian lama hidup berumah tangga.

“Assikalaibaineng, mengkalim bahwa ini terjadi karena pihak suami sama sekali tak tahu atau bahkan tak mau tahu dengan lelaku seks yang mengedepankan kualitas.”

Mengutip sebuah buku lelaku seks sesusi ajaran Islam, yang diterbitkan di Kuala Lumpur, dalam catatan kaki di halaman 164, Muhlis mengomentari “…Hampir 99 persen lemah syahwat (kelemahan nafsu jantan) adalah timbul dari sebab-sebab kerohanian.

Emonde Boas, seorang dokter asal Amerika bahkan pernah melakukan penelitian, dari 1400 lelaki yang didata mengidap penyakit lemah syahwat, hanya tujuh yang lemah karena sebab-sebab jasmani, yang lainya karena sebab rohani atau psikologis,”

Dia melanjutkan, “kejiwaanlah yang menyebabkan faktir terbesar sekaligus penggerak seseorang melakukan hubungan seks, sedangkan tubuh dan alat reproduksi hanya merupakan alat pemuasan bagi melaksanakan kehidupan kejiwaan seseorang.

Sedangkan teknik mengelola nafas dengan zikir, cara penetrasi, dan menutup hubungan dengan pijitan ke sejumlah titik rangsangan perempuan, dan menemani istri tertidur dalam satu selimut atau sarung merupakan bentuk akhir menjaga kualitas hubungan. Pengetahuan praktis seperti waktu yang baik dan kurang baik untuk berhubungan badan juga secara rinci diatur dalam kitab ini. “Tidak sepanjang satu malam menjadi masa yang tepat untuk bersetubuh.” (hal.166)

Terdapat keterkaitan waktu bersetubuh dengan kualitas anak yang terbuahi, seperti warna kulit anak. Untuk memperoleh anak yang berkulit putih, peretubuhan dilakukan setelah isya. Untuk anak yang berkulit hitam, persetubuhan dilakukan tengah malam (sebelum shalat tahajjud), anak yang warna klitnya kemwerah-memerahan dilakukan antara Isya dan tengah malam. Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh, antara pukul 05.15 hingga pukul 06.00 jika itu waktu di Indonesia. Ini sekaligus supaya mempermudah mandi junub.
Secara khusus kitab ini adalah menuntut pihak suami sebagai inisiator dan mengingatkan kepada istri, agar menyesuaikan waktu tidur dengan keinginan melakukan persetubuhan. Sebab ternyata, persoalan waktu amat berdampak secara psikologis maupun biologis, terutama pihak istri.
Teks assikalaibineng secara spesifik menyebutkan adanya kaitan waktu tidur istri dengan ajakan suami bersetubuh.
Assikalaibineng A hal.72-73 menyebutkan, “bila suami mengajak istri berhubungan saat menjelang tidur, maka ia merasakan dirinya diperlakukan [penuh kasih sayang (ricirinnai) dan dihargai (ripakalebbiri). Akan tetapi jika istri sedang tidur pulas, lantas suami membangunkannya untuk bersetubuh, maka istri akan merasa diperlakukan laiknya budak seks, yang disitilahkan dengan ripatinro jemma’.
Soal bangun membangunkan istri yang tidur pulas, assikalaibineng juga memberikan cara efektif. Kitab ini sepertinya tahu betul, bahwa jika usai orgasme sang istri biasanya langsung tertidur. Untuk menuntnjukkan kasih sayang, maka usai berhubungan lelaki bisa mengambil air, lalu mercikkan satu dua tetas ke muka istri. Setelah istri terbangun, lelaki memberikan pijitan awal di antara kening, mata, menciumim ubun-ubun, memijit bagian panggul lalu bercakap-cakap sejenak. Percakapan ini bagi istri akan selalu diingat dan membuatnya. (thamzil thahir).

Selasa, 22 November 2016

SUKU KAJANG


Mengenal Lebih Dekat Budaya Tana Toa, Kajang Bulukumba


Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Kabupaten Bulukumba. Daerah tersebut dinamakan Tana Toa yang berarti tanah yang tertua. Hal itu dikarenakan kepercayan masyarakatnya yang meyakini daerah tersebut sebagai daerah tertua dan pertama kali diciptakan oleh Tuhan di muka bumi ini. Bagi mereka, daerah ini dianggap sebagai tanah warisan leluhur.
 
Ritual “Tunu Panroli” Suku Kajang, Bulukumba (Foto : Antara)
Setiap hari, Masyarakat adat kajang menggunakan bahasa konjo sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa konjo termasuk bahasa Makassar yang berkembang dalam satu komunitas masyarakat. Pada umumnya masyarakat Desa Tana toa, tidak pernah merasakan bangku pendidikan secara formal. Maka tak heran, sangat sulit ditemukan masyarakat di kawasan ini yang mampu berbahasa Indonesia.
Meski demikian, suku Kajang mempunyai struktur kelembagaan. Bahkan, semua individu yang mendapat posisi dalam struktur tersebut, melaksanakan amanah secara jujur, tegas dan konsisten. Mereka paham arti tugas dan tanggung jawab. Pemimpin mereka disebut Ammatoa, pelajaran mereka dapatkan dari alam sekitar.
Ketika Ammatoa meninggal, maka pemimpin adat berikutnya akan dipilih setelah tiga tahun lamanya. Para calon Ammatoa dikumpulkan, kemudian seekor ayam dilepaskan. Ketika ayam tersebut hinggap pada salah seorang calon, maka dialah yang menjadi pemimpin adat berikutnya.
Dalam hal perkawinan, masyarakat Tana Toa harus kawin dengan sesama masyarakat kawasan tersebut. Jika tidak, dia harus meninggalkan kawasan adat.
Masyarakat Tana Toa Kajang juga dicirikan dengan pakaiannya yang serba hitam. Menurut mereka, pakaian hitam tersebut memiliki makna kebersahajaan, kesederhanaan, kesamaan atau kesetaraan seluruh masyarakatnya. Selain itu, pakaian hitam juga dimaksudkan agar mereka selalu ingat akan kematian atau dunia akhir.
Makna kesetaraan tidak hanya dapat dilihat dari cara mereka berpakaian, akan tetapi juga dari bentuk bangunan rumah yang ada di kawasan ini. Semua model, ukuran serta warnanya terkesan seragam, beratap rumbia serta berdinding papan. Kecuali rumah Ammatoa yang dindingnya menggunakan bambu. Di sekitar rumah Ammatoa tersebut, semua pemukiman Warga menghadap kearah kiblat.
Di kawasan ini, pengunjung tidak akan menemukan satu rumah pun yang berdinding tembok. apalagi bangunan yang memiliki berbagai model seperti bangunan mewah yang sering kita lihat . didalam rumah, tak satupun barang elektonik. modernitas dianggapnya sebagai pengaruh buruk yang dapat menjauhkan mereka dengan alam dan para leluhur.
Masyarakat Tana Toa percaya bahwa bumi ini adalah warisan nenek moyang yang berkualitas dan seimbang. Oleh karena itu, anak cucunya harus mendapatkan warisan tersebut dengan kualitas yang sama persis.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat adat memegang teguh ajaran leluhur yang disebutpasang ri kajang yang berarti pesan di kajang. Ajaran pasang itu, dinilai ampuh dalam melestarikan hutan.
Selaku pemimpin adat, Ammatoa membagi hutan dalam tiga bagian. Yaitu, hutan keramat “hutan karamaka”, hutan perbatasan “hutan batasayya” serta hutan rakyat “hutan laura”.
Hutan keramat diakui sebagai hutan pusaka dan dijadikan kawasan hutan larangan untuk semua aktifitas, kecuali kegiatan ritual. Hutan ini sangat dilindungi, mereka meyakini kawasan ini sebagai tempat turunnya manusia terdahulu yang juga lenyap di tempat tersebut. Masyarakat juga yakin, hutan ini tempai naik turunnya arwah dari bumi kelangit.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan hutan yang seluas 317,4 hektar ini, maka akan dikenakan denda Rp.1.200.000  di tambah dengan sehelai kain putih serta mengembalikan barang yang telah diambil dari daerah tersebut.
Hutan perbatasan merupakan hutan yang bisa ditebang beberapa jenis kayunya, akan tetapi harus dengan izinAmmatoa dan kayu yang diambil dari kawasan itu hanya untuk membangun fasilitas umum, serta untuk rumah bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu.
Selain demikian, sebelum melakukan penebangan pohon, orang tersebut diwajibkan melakukan penanaman sebagai penggantinya. Ketika sudah tumbuh subur, penebangan baru akan dilakukan dengan menggunakan alat tradisional serta mengangkatnya secara gotong royong keluar dari areal hutan.Nah, apabila seorang menebang kayu di kawasan ini tanpa izin, maka dikenakan denda 800 ribu rupiah. Dan ketika terjadi kelalaian yang menyebabkan kerusakan hutan, dikenakan denda 400 ribu rupiah. Kedua denda tersebut dilengkapi dengan sehelai kain putih.
Yang terakhir adalah hutan rakyat, meskipun hutan ini dikuasai dan di kelola oleh rakyat. Tapi hukum adat masih tetap berlaku. Denda atas pelanggaran di kawasan ini sama dengan denda hutan perbatasan.
Selain sanksi denda, orang yang melakukan pelanggaran tersebut juga dikenakan hukum adat berupa pengucilan. Yang lebih parahnya lagi, pengucilan tersebut berlaku bagi semua keluarga sampai generasi ketujuh.
Selanjutnya, ada dua bentuk ritual yang dijalankan oleh suku kajang apabila terjadi kasus pencurian, yaitu tunu panroli dan tunu passau.
Tunu panroli yaitu mencari pelaku pencurian dengan cara seluru masyarakat memegang linggis yang membara setelah dibakar. Masyarakat yang tidak bersalah, tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut.
Tapi, apabila sang pencuri melarikan diri, maka dilakukanlah tunu Passau yaitu Ammatoa membakar kemenyan sambil membaca mantra yang dikirmkan kepada pelaku agar jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia secara tidak wajar.
 
Makan bersama dalam ritual “Andingingi” Tana Toa, Kajang, Bulukumba. (Foto : Tempo)
Tiap akhir tahun, masyarakat adat suku kajang melakukan ritual andingingi yang berarti mendinginkan. Ini merupakan salah satu bentuk kesyukuran mereka atas kemurahan alam dengan cara mendinginkannya. Waktu tersebut adalah saatnya alam untuk diistirahatkan setelah dikelolah dan dinikmati hasilnya selama satu tahun.
Luas Desa Tana Toa, 331,17 hektar dan terbagi menjadi dua yaitu suku Kajang luar dan Kajang dalam. Masyarakat Kajang luar, tersebar dan menetap di tujuh dusun. Sementara masyarakat Kajang dalam tinggal  di satu dusun yaitu Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang secara keseluruhan melakukan segala ritual dan aktifitas yang  berkaitan dengan adat istiadat.
Meski suku ini terbagi kedalam dua kelompok, akan tetapi tidak ada perbedaan diantara mereka. Semuanya berpegang teguh terhadap ajaran leluhur.
Lokasi
Secara geografis, suku Kajang berada di wilayah Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sekitar 56 kilometer dari pusat kota Bulukumba.
Berkunjung ke Kabupaten Bulukumba, belum lengkap tanpa memasuki kawasan adat Tana Toa yang merupakan salah satu tempat wisata budaya Sulawesi. Mengunjungi peninggalan megalitik milik masyarakat kajang serta mempelajari kearifan dalam melestarikan budaya yang bertahan ratusan bahkan ribuan tahun itu.
Para pengunjung yang datang di daerah ini, harus mengikuti aturan adat yang berlaku. Tidak boleh menggunakan kendaraan modern, anda hanya boleh menunggangi kuda atau berjalan kaki. Pengunjungpun harus mengikuti khas pakaian adat kajang yang berwarna hitam itu.

Sabtu, 19 November 2016

Kumpulan Pepatah Bugis, Sastra Klasik Bugis


Kumpulan Pepatah Bugis, Sastra Klasik Bugis;

Anda bebas menyalin ulang teks ini untuk disebarkan dijadikan bahan pembelajaran bagi siapapun.

1. Adé’é temmakké-anak’ temmakké-épo.
Artinya: “adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu”. Dalam menjalankan norma-norma adat tak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran harus dikenakan sanksi (hukuman) sesuai ketentuan adat yang berlaku.

2. Ajak mapoloi olona tauwé.
Artinya: “jangan memotong (mengambil) hak orang lain”. Memperjuangkan kehidupan adalah wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan kekerasan, saling merampas atau menghalangi rezeki orang lain.

3. Aja’ mumatebek ada, apak iyatu adaé maéga bettawanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilaé paweré-weré.

Artinya: “Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris”.

4. Aju maluruémi riala paréwa bola.

Artinya: “hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah”. Di sini rumah sebagai perlambang dari pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sifat lurus (jujur) yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik.

5. Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang .
Artinya: “ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan”. Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan adalah suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.

6. Balanca manemmui waramparammu, abbeneng anemmui, iakia aja’ mupalaowi moodala’mu enrenngé bagelabamu.
Artinya: “boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk berbini, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu”. Peringatan pada pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan

7. Dék nalabu essoé ri tenngana bitaraé.
Artinya: “tak akan tenggelam matahari di tengah langit”. Manusia tidak akan mati sebelum takdir ajalnya sampai. Oleh karena itu keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.

8. Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarié enrenngé lalenna paggollaé.
Artinya: “dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah”. Jalan yang ditempuh penyadap enau tak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan sebagai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya tak menghiraukan kebersihan, lantaran nnya itu tak diketahui orang. Kedua sikap di atas tak pantas ditiru karena mempunyai itikad kurang.

9. Iapa nakullé taué mabbaina narékko naulléni magguli-lingiwi dapurenngé wékka pitu .
Artinya: “apabila seseorang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali”. Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin s/d Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga supaya memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.

10. Iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalatongi aséya.
Artinya: “Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi”. Jikalau adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh segenap anggota masyarakat, binatang tumbuh-tumbuhan dan alam semesta.


Anda bebas menyalin ulang teks ini untuk disebarkan dijadikan bahan pembelajaran bagi siapapun.

11. Jagaiwi balimmu siseng mualitutui ranemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali.
Artinya: “jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan”. Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, dengan demikian lawan jadi bertambah, dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.

12. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’néka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na.
Artinya: “kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang ke dalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul”. Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.

14. Lebbik-i cau-caurenngé napellorenngé.

Artinya: “lebih baik yang sering kalah daripada yang pengecut”. Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan pengecut, samasekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.

15. Malai bukurupa ricaué, mappalimbang ri majé ripanganroé.
Artinya: “memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan”. Dikalahkan dalam perjuangan hidup karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk, sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tak memiliki harga diri sama halnya mati.

16. Mattulu’ perajo téppéttu siranrang, padapi mapééttu iya.

Artinya: “terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya”. Perlambang dari eratnya persahabatan. Di mana masing-masing saling mempererat, memperkuat, sehingga tidak putus jalin kelingnya. Apabila putus satu, maka semua sama-sama putus.

17. Massésa panga, temmasésa api, massésa api temmasésa botoreng.
Artinya: “bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak bersisa penjudi”. Betapa pun pintarnya pencuri tak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Seberapa besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (misalnya tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah yang tak dapat dicuri dan terbakar) dalam waktu singkat.

18. Mau maéga pabbiséna nabonngo ponglopinna téa wa’ nalureng.
Artinya: “biar banyak pendayungnya, tetapi bodoh juru mudinya”. Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak hal, tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.

19. Naiya riyasenngé pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adaé enrenngé gau’ é napoléié ja’ enrenngé napoléié décéng.

Artinya: “cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi, demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan”.

20. Naiya tau malempuk-é manguruk manak-i tau sugi-é.

Artinya: “orang yang jujur sewarisan dengan orang kaya”. Orang jujur tidaklah sulit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.
Sambungan dari SASTRA BUGIS BAGIAN 2

Anda bebas menyalin ulang teks ini untuk disebarkan dijadikan bahan pembelajaran bagi siapapun. 

21. Naiya accae ripatoppoki jékko, aggati aliri, narékko téyai maredduk, mapoloi.
Artinya: “kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah, kalau tidak tercerabut, ia akan patah”. Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakn pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kias terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).

22. Narékko maélokko tikkeng séuwa olokolok sappak-i batélana. Narékko sappakko dallék sappak-i maégana batéla tau .
Artinya: “kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau mencari rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia”. Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.

23. Narékko téyako risarompéngi lipak, aja mutudang ri wiring laleng.
Artinya: “kalau kamu tak sudi terserempet sarung, jangan duduk di tepi jalan”. Duduk di tepi jalan dianggap perbuatan yang tak wajar, karena banyak orang berlalu-lalang. Mengandung nasihat agar menjauhi segala sesuatu yang berbahaya supaya selamat.

24. Narékko maélokko madécéng ri jama-jamammu, attanngakko ri batélak-é. Ajak muolai batélak sigaru-garué, tutunngi batélak makessinngé tumpukna.
Artinya: “kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya” Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tidak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi adanya tujuan yang pasti dan jalan yang benar.

25. Olakku kuassukeki, olakmu muassukeki
Artinya: “takaranku kujadikan ukuran, takaranmu kamu jadikan ukuran”. Setiap orang mempunyai prinsip atau landasan berpikir sendiri-sendiri dalam memandang sesuatu. Oleh karena itu harus ada saling pengertian atau tenggang rasa supaya tak terjadi pertikaian.
Sambungan dari SASTRA BUGIS BAGIAN 3

Anda bebas menyalin ulang teks ini untuk disebarkan dijadikan bahan pembelajaran bagi siapapun

26. Paddioloiwi niak madécéng ri temmakdupana iyamanenna.

Artinya: “Dahuluilah dengan niat baik sebelum melaksanakan pekerjaan”. Dengan adanya niat baik yang bersangkutan akan tertuntun ke jalan yang benar. Berniat baik saja sudah merupakan kebaikan, apalagi kalau dilaksanakan.

27. Pauno sirié, mappalétté ri pammasareng essé babuaé.
Artinya: “malu mengakibatkan maut, iba hati mengantar ke liang”. Rasa malu yang tak terkendali dapat mengundang malapateka (mengundang maut). Perasaan iba yang berlebihan juga dapat membawa kesengsaraan dan mencelakakan (menyebabkan kematian).

28. Pala uragaé, tebakké tongenngé teccau maégaé, tessiéwa situlaé.

Artinya: “berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan”. Tipu daya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak termusnahkan. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.

29. Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellenngé nato’walié.

Artinya: “layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali”. Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca, yang berarti mendahulukan pertimbangan yang waras dan matang. Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang dan guling serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar atas dasar kata putus seperti di atas.

30. Rebba sipatokkong, mali siparappé, sirui ménré tessirui nok, malilu sipakainge, maingeppi mupaja.

Artinya: “rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti”. Mengandung pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Juga harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Jika semua itu dilaksanakan akan terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

PROSES N JENJANG MAPPABBOTTING

Mappabotting, Coba Simak Yuk Adat Istiadat Bugis Yang Unik Ini

INHILpunya.com– indonesia terkenal dengan keberagaman masyarakatnya. Salah satu keberagamannya terletak pada adat istiadat karena luasnya wilayah yang membentang dari sabang hingga Merauke.  Agar selalu terjaga keaslian dan kelestariannya, adat istiadat setiap daerah senantiasa dipraktikan secara langsung oleh masyarakat lho. Nggak heran kalau lagi ada upacara adat, kemeriahan di suatu daerah pasti bisa berlangsung seharian, bahkan berhari-hari.
Nah, hal ini juga terjadi pada pernikahan masyarakatnya. Pernikahan yang pada dasarnya merupakan penyatuan dua keluarga besar ini selalu dibumbui oleh adat istiadat yang melekat. Setiap daerah di Indonesia pun punya keunikan tersendiri pada perayaan pernikahan. Kamu bisa lihat salah satu contohnya pada proses pernikahan masyarakat Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis. Pernikahan adat Bugis ini tidak hanya mengikutsertakan keluarga inti kedua belah pihak, tapi juga keluarga besar untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).
Mappabotting dalam bahasa Bugis berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan. Menurut Ibrahim A (dalam Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata biné jika mendapat awalan “ma” menjadi mabbiné berarti menanam benih. Kata biné atau mabbiné ini memiliki kedekatan bunyi dan makna dengan kata bainé (istri) atau mabbainé (beristri). Maka dalam konteks ini, kata siabbinéng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama.
Sebelum pernikahan ada syarat yang harus ditunaikan yakni ‘maddutta/mappetu ada’, madduta adalah dimana pada pihak keluarga laki-laki mendatangi pihak perempuan untuk melakukan lamaran pada perempuan dengan adanya Dui’ mènrè atau dui balanca/uang untuk dipakai sebagai biaya acara yang nantinya akan berlangsung di rumah mempelai wanita. Madduta adalah proses tawa-menawar sama halnya seperti antara penjual dan pembeli pada sistem jual-beli sampai menemui titik kesepakatan oleh kedua belah pihak.
Bila mana sudah ditentukan waktu pernikahan, maka selang satu minggu sebelum acara mappabotting ini berlangsung maka acara yang dilakukan yakni dinamakan ‘Accado-cado’  yakni seluruh keluarga berdatangan kerumah sang pengantin sebagai tanda rasa kebahagiaan karena ada keluarganya akan melaksanakan acara pernikahan, disanalah mereka dengan saling gotong royong bekerja dalam mempersiapkan segala kesiapan acara pernikahan.
Adapun beberapa prosesi pernikahan lainnya pada suku Bugis yakni mabbarasanji dan malam suci/wenni appacingen. Mabbarasanji proses membacakan ayat-ayat pada kitab barasanji, sedangkan appacingen adalah malam suci dimana anak yang akan melangsungkan pernikahan dirias dan dihias dengan beberapa kosmetik tradisional khas suku bugis.
Nah dari keunikan pada acara perkawinan suku bugis melambangkan bahwa masih ada suku yang sangat mempercyai dan disiplin tentang massa lampau, berikut bahan-bahan yang digunakan dalam upacara perkawinan orang Bugis di antaranya adalah:
  • Sompa, yaitu mahar atau mas kawin dalam bentuk uang real sebagai syarat sah peminangan menurut Islam.
  • Dui’ ménré atau dui’ balanca, yaitu sejumlah uang belanja dari mempelai pria sebagai syarat sah peminangan menurut adat. Uang tersebut digunakan membiayai pesta pernikahan mempelai wanita.
  • Cicing passiok, yaitu cincin emas dari mempelai pria untuk mengikat mempelai wanita.
  • Sarung sutera sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.
  • Seperangkat peralatan dalam acara mappacci seperti daun pacar, bantal, pucuk daun pisang, lilin, bekkeng (tempat daun pacar dari logam), wenno (padi yang disangrai), dan daun nangka.
  • Berbagai macam makanan dan kue-kue tradisional Bugis seperti beppa puteh, nennu-nennu, palopo, barongko, paloleng, sanggarak, lapisi, cangkueng, badda-baddang, dan lain-lain sebagainya.
  • Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis, dan sebagainya.
Upacara Pra Perkawinan
Tahapan acara mappabotting dan istilah-istilah pada upacara adat perkawinan orang bugis:
  • Pemilihan Jodoh
Proses paling awal menuju perkawinan dalam adat Bugis adalah pemilihan jodoh. Orang Bugis umumnya mempunyai kecenderungan memilih jodoh dari lingkungan keluarga sendiri karena dianggap sebagai hubungan perkawinan atau perjodohan yang ideal. Perjodohan ideal yang dimaksud adalah siala massaposiseng (perkawinan antarsepupu satu kali), siala massapokadua (perkawinan antarsepupu dua kali), dan siala massoppokatellu (perkawinan antarsepupu tiga kali) (Pelras, 2006:178, lihat juga Mattulada,1985:44).
Kendati demikian, ketiga jenis perjodohan tersebut di atas bukanlah suatu hal yang diwajibkan. Dewasa ini, pria yang akan menikah dapat memilih jodoh dari luar lingkungan kerabat. Adapun perjodohan ideal selain dari kerabat adalah perjodohan yang didasarkan pada kedudukan assikapukeng, yaitu kedua mempelai memiliki stratifikasi sosial yang sederajat di dalam masyarakat, baik dilihat dari segi keturunan (bangsawan atau orang biasa), pendidikan, kedudukan dalam struktur pemerintahan, maupun harta kekayaan. Setelah jodoh yang telah dipilih dirasa sudah cocok, maka proses selanjutnya adalah mammanu’-manu’
  • Mammanu’-manu’  (penjajakan)
Mammanu’-manu’ atau biasa juga disebut mappése-pése, mattiro, atau mabbaja laleng adalah suatu kegiatan penyelidikan yang biasanya dilakukan secara rahasia oleh seorang perempuan dari pihak laki-laki untuk memastikan apakah gadis yang telah dipilih sudah ada yang mengikatnya atau belum. Kegiatan penyelidikan ini juga bertujuan untuk mengenali jati diri gadis itu dan kedua orang tuanya, terutama hal-hal yang berkaitan dengan keterampilan rumah tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, kecantikan, dan juga pengetahuan agama gadis tersebut. Jika menurut hasil penyelidikan belum ada yang mengikat gadis itu, maka pihak keluarga laki-laki memberikan kabar kepada pihak keluarga gadis bahwa mereka akan datang menyampaikan pinangan.
  • Madduta atan massuro (meminang)
Madduta atau massuro artinya pihak laki-laki mengutus beberapa orang terpandang, baik dari kalangan keluarga maupun selain keluarga, untuk menyampaikan lamaran kepada pihak keluarga gadis. Utusan ini disebut To Madduta sedangkan pihak keluarga gadis yang dikunjungi disebut To Riaddutai. To Madduta memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu pinangan. Oleh karena itu, To Madduta harus berhati-hati, bijaksana, dan pandai membawa diri agar kedua orang tua gadis itu tidak tersinggung (A. Rahim Mame, et. al. 1977/1978:62).
Mahar dalam adat perkawinan orang Bugis dikenal sangat tinggi karena seorang laki-laki yang akan menikah tidak hanya diwajibkan memberi sompa atau mahar sebagai kewajiban seorang muslim, tetapi juga diwajibkan memberikan dui’ menré (uang naik) atau dui’ balanca (uang belanja) kepada pihak keluarga perempuan. Menurut Hadikusumah (1990:57), dui’ menré merupakan uang petindih, yaitu uang jemputan kepada pihak perempuan sebagai salah satu syarat sahnya pinangan atau pertunangan menurut adat. Dalam pembicaraan ini terjadi tawar-menawar antara To Madduta dengan To Riaddutai.
Besar kecilnya jumlah dui’ menré dalam perkawinan orang Bugis sangat dipengaruhi oleh status sosial pihak perempuan. Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan semakin besar pula jumlah dui’ menré yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki (Abdullah, 1983:267). Oleh karena itu, pihak laki-laki yang diwakili oleh To Madduta harus pandai-pandai melakukan negosiasi kepada pihak keluarga perempuan. Jika kedua belah pihak telah menuai kesepakatan bersama masalah jumlah mahar berarti pinangan To Madduta diterima.
Setelah pinangan diterima, acara mappettu ada dilanjutkan dengan membicarakan masalah tanré esso atau penentuan hari perkawinan. Penentuan hari pada saat ini biasanya disesuaikan dengan penanggalan Islam. Setelah penentuan hari perkawinan selesai, selanjutnya ditentukan lagi hari untuk pertemuan berikutnya guna mengukuhkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Acara mappettu ada kemudian ditutup dengan jamuan makan bersama, di mana rombongan To Madduta disuguhi berbagai hidangan makanan yang terdiri diri kue-kue khas Bugis yang pada umumnya manis rasanya sebagai simbol pengharapan agar kehidupan kedua calon mempelai selalu manis (senang) di kemudian hari.
  • Mappasiarekeng (mengukuhkan kesepakatan)
Mappasiarekeng berarti mengukuhkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Acara ini dilaksanakan di tempat mempelai perempuan. Pengukuhan kesepakatan ditandai dengan pemberian hadiah pertunangan dari pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita sebagai passio’ atau pengikat berupa sebuah cincin emas dan sejumlah pemberian simbolis lainnya seperti tebu sebagai simbol kebahagiaan, panasa (buah nangka) sebagai simbol minasa (pengharapan), sirih pinang, sokko (nasi ketan), dan berbagai kue-kue tradisional lainnya (Pelras, 2006:181).
Pada acara mappasiarekeng tersebut pihak laki-laki juga menyerahkan dui’ menré—yang jumlahnya berdasarkan kesepakatan—kepada pihak perempuan untuk digunakan dalam pesta perkawinan. Penyerahan dui’ menré dan hadiah-hadiah lainnya diwakili oleh kerabat atau sahabat terdekat orang tua mempelai laki-laki.
  • Mappaisseng dan mattampa (menyebarkan undangan)
Mappaisseng adalah mewartakan berita mengenai perkawinan putra-putri mereka kepada pihak keluarga yang dekat, para tokoh masyarakat, dan para tetangga. Pemberitahuan tersebut sekaligus sebagai permohonan bantuan baik pikiran, tenaga, maupun harta demi kesuksesan seluruh rangkaian upacara perkawinan tersebut. Pemberian bantuan harta biasanya dilakukan oleh pihak keluarga dekat.
Sementara itu, mattampa atau mappalettu selleng (mappada) adalah mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan yang rumahnya jauh, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Kegiatan ini biasanya dilakukan sekitar satu hingga sepuluh hari sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan. Tujuan dari mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan tentu saja dengan harapan mereka bersedia memberikan doa restu kepada kedua mempelai.
  • Mappatettong sarapo/baruga (mendirikan bangunan)
Mappatettong sarapo atau baruga adalah mendirikan bangunan tambahan untuk tempat pelaksanaan acara perkawinan. Sarapo adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah induk sedangkan baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan terpisah dari rumah induk. Pada kedua bangunan tersebut biasanya diberi dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut dengan wolasuji dan di atasnya digantung janur kuning. Di dalam kedua bangunan tambahan tersebut juga dibuatkan pula lamming atau pelaminan sebagai tempat duduk mempelai dan kedua orang tuanya.
Jika dalam pesta tersebut terdapat pementasan kesenian seperti kecapi Bugis, musik gambus, atau orkes, biasanya dibuatkan panggung di samping pelaminan. Pendirian sarapo atau baruga biasanya dilakukan tiga hari sebelum pesta perkawinan dilangsungkan oleh para kerabat dan tetangga dekat secara bergotong-royong. Dewasa ini, sarapo atau baruga sudah jarang digunakan karena tersedianya persewaan gedung atau tenda-tenda yang lengkap dengan segala peralatannya.
  • Mappassau botting dan cemmé passili’ (merawat dan memandikan pengantin)
Mappasau botting berarti merawat pengantin. Kegiatan ini dilakukan dalam satu ruangan tertentu selama tiga hari berturut-turut sebelum hari “H” perkawinan. Perawatan ini dilakukan dengan menggunakan berbagai ramuan seperti daun sukun, daun coppéng (sejenis anggur), daun pandan, rempah-rempah, dan akar-akaran yang berbau harum. Sementara itu, cemmé passili’ berarti mandi tolak balak, yaitu sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar kiranya kedua mempelai dijauhkan dari segalam macam bahaya atau bala. Upacara ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum hari “H” perkawinan, yaitu sekitar pukul 10.00 pagi. Setelah mandi tolak bala, mempelai wanita masih harus melaksanakan ritual maccéko, yaitu mencukur bulu-bulu halus.
  •  Mappanré temme (khatam al-Quran) dan pembacaan barzanji
Sebelum memasuki acara mappaci, terlebih dilakukan acara khatam al-Quran dan pembacaan barzanji sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepad Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya dilaksanakan pada sore hari atau sesudah shalat ashar dan dipimpin oleh seorang imam. Setelah itu, dilanjutkan acara makan bersama dan sebelum pulang, para pembaca barzanji dihadiahi kaddo, yaitu nasi ketan berwarna kuning yang dibungkus dengan daun pisang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
  • Mappacci atau tudammpenni (mensucikan diri)
Pada malam menjelang hari “H” perkawinan, kedua mempelai melakukan kegiatan mappaci atau tudammpenni di rumah masing-masing. Acara ini dihadiri oleh kerabat, pegawai syara’, orang-orang terhormat, dan para tetangga. Kata mappaci berasal dari kata pacci, yaitu  daun pacar (lawsania alba). Pacci dalam kata bahasa Bugis berarti bersih atau suci sedangkan tudammpenni secara harfiah berarti duduk malam. Dengan demikian, mappacci dapat diartikan mensucikan diri pada malam menjelang hari “H” perkawinan. Dikatakan dalam ungkapan ungkapan orang Bugis:
Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau mabbiasa, tampu’ sennu-sennuang, ri nia akkatta madécéng mammuaréi nalétéi pammasé Déwata Séuwaé
Artinya: Mappacci merupakan upacara yang sangat kental dengan nuansa bathin. Dimana proses ini merupakan upaya manusia untuk membersihkan dan mensucikan diri dari segala hal yang tidak baik. Dengan keyakinan bahwa segala tujuan yang baik harus didasari oleh niat dan upaya yang baik pula.
Acara mappacci dimulai dengan penjemputan (padduppa) mempelai untuk dipersilakan duduk di pelaminan. Acara penjemputan biasanya disampaikan oleh juru bicara keluarga melalui ungkapan berikut:
Patarakkai mai bélo tudangeng
Naripatudang siapi siata
Taué silélé uttu patudangeng
Padattudan mappacci siléo-léo
Riwenni tudammpenni kuaritu
Paccingi sia datu bélo tudangeng

Ripatajang mai bottingngé
Naripatteru cokkong di lamming lakko ulaweng
Artinya: Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudammpenni. Mappaci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntun dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas (Badruzzaman, 2007).
Setelah mempelai pengantin duduk di pelaminan berbagai perlengkapan disiapkan di depannya dengan cara disusun dari bawah ke atas yaitu satu buah bantal sebagai simbol mappakalebbi (penghormatan), tujuh lembar sarung sutera sebagai simbol harga diri, selembar pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan yang berkesinambungan, tujuh sampai sembilan daun nangka sebagai simbol ménasa (harapan), sepiring wenno (padi yang disangrai hingga mengembang) sebagai simbol berkembang dengan baik, sebatang lilin yang dinyalakan sebagai simbol penerangan, daun pacar yang telah dihaluskan sebagai simbol kebersihan atau kesucian, dan bekkeng (tempat pacci yang terbuat dari logam) sebagai simbol penyatuan dua insane.
Setelah semua perlengkapan siap, selanjutnya MC mulai mengundang satu persatu kerabat dan beberapa tamu undangan untuk meletakkan atau mengusapkan pacci ke telapak tangan calon mempelai. Orang-orang yang diundang biasanya orang yang memiliki kedudukan sosial yang baik dan kehidupan rumah tangganya bahagia. Hal ini dimaksudkan agar calon mempelai kelak dapat hidup seperti mereka. Jumlah orang yang diundang disesuaikan dengan status sosial calon mempelai. Untuk golongan bangsawan tertinggi terdiri dari sembilan orang dan setiap orang harus mengusapkan pacci ke tangan calon mempelai sebanyak dua kali. Dalam adat Bugis, jumlah tersebut biasanya disebutkan dalam bentuk angka yaitu 2 x 9 orang (duakkaséra). Untuk golongan bangsawan menengah berjumlah 2 x 7 orang (duakkapitu), sedangkan golongan di bawahnya berjumlah 1 x 9 atau 1 x 7 orang (Badruzzaman, 2007).
Adapun tata cara pelaksanaan pacci yaitu mula-mula orang yang telah ditunjuk mengambil sedikit daun pacci dari dalam bekkeng kemudian meletakkan atau mengusapkannya pada kedua telapak tangan calon mempelai yang dimulai dari telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri dengan disertai doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup bahagia. Pada saat orang-orang tersebut meletakkan pacci, sesekali indo’ botting (inang pengantin) yang duduk di samping mempelai menghamburkan wenno kepada calon mempelai maupun kepada orang-orang yang melettakkan pacci. Kemudian kepada orang telah memberikan pacci dihadiahi rokok sebagai penghormatan atau ucapan terima kasih doa restu yang telah diberikan kepada calon mempelai (Badruzzaman, 2007).
  1. Resepsi atau Pesta Perkawinan
Secara garis besar, upacara atau resepsi perkawinan dibagi menjadi dua tahap yaitu mappénré botting dan marola.
  • Mappénré Botting (mengntar pengantin)
Mappénré botting adalah mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan beberapa serangkaian kegiatan seperti madduppa botting, akad nikah, dan mappasiluka. Mempelai pria diantar oleh iring-iringan tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Adapun orang-orang yang ikut dalam iring-iringan tersebut di antaranya indo’ botting, dua orang passeppi (pendamping mempelai) yang terdiri dari anak laki-laki, beberapa kerabat atau orang-orang tua sebagai saksi-saksi pada acara akad nikah, pembawa mas kawin, dan pembawa hadiah-hadiah lainnya.
  • Madduppa botting (menyambut kedatangan pengantin)
Madduppa botting berarti menyambut kedatangan mempelai pria di rumah mempelai wanita. Acara penyambutan tersebut dilakukan oleh beberapa orang yaitu dua orang paddupa atau penyambut (satu remaja pria dan satu wanita remaja), dua orang pakkusu-kusu (perempuan yang sudah menikah), dua orang pallipa sabbé (orang tua pria dan wanita setengah baya mengenakan sarung sutra sebagai wakil orang tua mempelai wanita), seorang wanita pangampo wenno (penebar wenno), serta satu atau dua orang paddupa botting yang bertugas menjemput dan menuntun mempelai pria turun dari mobil menuju ke dalam rumah (Badruzzaman, 2007). Sementara itu, seluruh rombongan mempelai pria dipersilakan duduk pada tempat yang telah disediakan untuk menyaksikan pelaksanaan acara akad nikah.
  • Akad nikah
Orang Bugis di Sulawesi Selatan umumnya beragama Islam. Oleh karena itu, acara akad nikah dilangsungkan menurut tuntunan ajaran Islam dan dipimpin oleh imam kampung atau seorang penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Sebelum akad nikah atau ijab qabul dilaksanakan, mempelai laki-laki, orang tua laki-laki (ayah) atau wali mempelai wanita, dan dua saksi dari kedua belah pihak dihadirkan di tempat pelaksanaan akad nikah yang telah disiapkan. Setelah semuanya siap, acara akad nikah segera dimulai.
Seperti halnya adat perkawinan suku bangsa lain yang menganut ajaran Islam, pelaksanaan akad nikah dilangsungkan berdasarkan urutan acara seperti berikut yaitu dimulai dari pembacaan ayat suci al-Quran, kemudian dilanjutkan pemeriksaan berkas pernikahan oleh penghulu, dan penanda tanganan berkas oleh kedua mempelai, wali, dan saksi-saksi. Khusus untuk mempelai wanita, penantanganan berkas dilakukan di dalam kamar karena ia tidak boleh keluar kamar selama proses akad nikah berlangsung.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali mempelai wanita kepada imam atau penghulu untuk proses ijab kabul. Ijab kabul dimulai dengan khutbah nikah oleh imam atau penghulu. Kemudian mempelai pria duduk berhadap-hadapan dengan imam atau penghulu sambil berpegangan ibu jari (jempol) tangan kanan. 2] Dengan bimbingan imam, mempelai pria mulai mengucapkan beberapa bacaan seperti istigfar, dua kalimat syahadat, shalawat, dan ijab kabul. Sighat atau kalimat ijab kabul yang disampaikan oleh mempelai pria harus jelas kedengaran oleh para saksi untuk sahnya akad nikah. Oleh karena itu, tak jarang mempelai pria harus mengulanginya hingga dua tiga kali (Pelras,2006:183).
  • Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan pertama)
Setelah proses akad nikah selesai, mempelai pria dituntun oleh orang yang dituakan menuju ke dalam kamar mempelai wanita untuk ipasikawara (dipersentuhkan). Kegiatan ini disebut dengan mappasikarawa, mappasiluka atau ma’dusa’ jénné, yaitu mempelai pria harus menyentuh salah satu anggota tubuh mempelai wanita. Kegiatan ini dianggap penting karena menurut anggapan sebagian masyarakat Bugis bahwa keberhasilan kehidupan rumah tangga kedua mempelai tergantung pada sentuhan pertama mempelai pria terhadap mempelai wanita. Menurut Mame et. al. (1977/1978:78),
Setelah acara mappasikarawa selesai, kedua mempelai kemudian melakukan acara menyembah kepada kedua orang tua mempelai wanita dan keluarga-keluarga lainnya.
  • Upacara nasehat perkawinan dan perjamuan
Setelah kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan, selanjutnya diadakan acara nasehat perkawinan. Tujuan dari acara ini adalah untuk menyampaikan petuah, pesan, dan nasehat kepada kedua mempelai agar mereka mampu membangun rumah tangga yang sejahtera, rukun, dan damai. Nasehat perkawinan biasanya disampaikan oleh seorang ustadz yang telah mempraktekkan cara membangun rumah tangga yang sejahtera dan bahagia sehingga dapat dijadikan teladan bagi kedua mempelai.
Selanjutnya upacara mappénré botting ditutup dengan upacara jamuan santap bersama. Pada zaman dahulu, upacara perjamuan dilakukan dengan cara melantai atau lesehan. Hidangan nasi dengan berbagai lauk-pauknya serta kue-kue tradisional khas Bugis digelar di lantai yang diberi alas kain panjang berwarna-warni. Namun, sejak adanya persewaan gedung dan tenda dengan segala perlengkapannya, perjamuan dilakukan dengan cara prasmanan. Dengan selesainya upacara perjamuan, maka seluruh rangkaian acara mappénré botting telah selesai. Rombongan mempelai pria berpamitan kepada pihak keluarga mempelai wanita. Sementara itu, pengantin pria tidak ikut serta dalam rombongannya karena ia harus melakukan acara mapparola bersama mempelai wanita.
  • Marola atau mapparola
Marola atau mapparola adalah kunjungan balasan dari pihak mempelai wanita ke rumah mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-iringan yang biasanya membawa hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah mempelai wanita dan pengiringnya tiba di rumah mempelai pria, mereka langsung disambut oleh seksi padduppa (penyambut) untuk kemudian dibawa ke pelaminan. Kedua orang tua mempelai pria segera menemui menantunya untuk memberikan hadiah paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai tanda kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah berupa cincin atau kain sutera kepada mempelai wanita, kemudian disusul oleh tamu undangan memberikan passolo (kado).
Setelah pemberian hadiah selesai, acara dilanjutkan dengan nasehat perkawinan oleh seorang ustadz yang tujuannya sama seperti nasehat perkawinan di tempat mempelai wanita. Selanjutnya, upacara mapparola ditutup dengan perjamuan kepada rombongan mempelai wanita dan para tamu undangan. Mereka disuguhi berbagai macam hidangan makanan dan kue-kue tradisional Bugis. Usai acara perjamuan, kedua mempelai bersama rombongannya massimang (mohon diri) kepada kedua orang tua mempelai pria untuk kembali ke rumah mempelai wanita.

Dua Temmassarang Tellu Temmallaiseng


Ade' Pitue (Dewan Adat Tuju)
Jangan pernah mengaku keturunan atau wija bugis jika tidak mengenal kata-kata petuah-petuah berbahasa bugis yang pernah dituturkan leluhur kita, minimal pernah mendengar kalaupun tidak paham maknanya, apalagi kalau sampai tidak mampu menuturkan bahasa bugis. Tapi fakta kadang berbicara lain, banyak saya temui pemuda-pemudi jaman sekarang mengaku keturunan bugis, tapi bahasa bugis saja tidak paham, apalagi makna dari kata bugis itu sendiri. ketakutan saya 20 tahun kedepan generasi penerus sudah lebih memahami budaya luar dari pada budaya bugis, bahkan sudah tidak mampu lagi menuturkan bahasa bugis.

Karena saya adalah pemuda yang tumbuh dilingkungan bugis, jadi dari kecil saya sedikit banyak sering mendengar kata-kata bijak atau tetuah leluhur bugis, misalnya saja “mali siparappe, rebba sipatokkong, malilung sipakainge. Resopa temmangingngi malomo naletei pammase dewata. Duami kuala sappo unganna kanukue belona panasae, Yili’ka buaja patompang aje tedong kusala rimajeng. Siapakatau, sipakalebbi, sipakainge.” tak jarang juga kata-kata bijak berbahasa bugis yang memiliki makna spiritual tinggi, misalnya saja kalimat “dua temmassarang ritellue temmallaiseng, jenne telluka sempajang teppettu. Jenne’ telluka Sempajang Teppettu.

Saya tidak akan membedah satu per satu kalimat petua bugis yang saya tuliskan pada paragraph sebelumnya. Tapi saya hanya akan menguraikan sedikit makna tentang kalimat dua temmassarnga ritellue tengmmallaiseng sesuai dengan kada pengetahuan saya. ketertarikan saya dalam mengulas kalimat tersebut berawal disaat setelah saya mendengar lantunan ceramah Ust. Tommy Thompson yang bertema Tasawwuf Bugis. kalimat ”Dua temmassarang ritellue temmalaiseng” sepadan dengan kalimat “Dua yang tak terpisahkan didalam tiga yang saling bekesinambungan” dalam bahasa Indonesia.

kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan bisa menghasilkan beragam penafsiran, dan penafsiran yang coba saya sampaikan berhubungan konsep spiritual yang bersifat sufistik. berangkat dari ceramah ust. Tommy Thompson bahwa yang dimaksud dari kata “dua Temmassarang” (dua yang tak terpisahkan) ini adalah antara Tuhan dengan Hamba, dia berbeda tapi tidak terpisahkan dan tidak mungkin terpisahkan. logika sederhananya begini, kira-kira ketika tidak ada Hamba siapa yang bertindak sebagai Tuhan? sebagaimana yang kita pahami bahwa Tuhan menicayakan Hamba, dan begitupun sebaliknya ketika tidak ada tuhan apakah hamba masih bisa dikatakan sebagai hamba? dari pernyataan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa Hamba adalah bagian dari tuhan, namun hamba bukanlah tuhan.

kalimat selanjutnya “tellu temmallaiseng” yang berarti tiga saling berkesinambungan atau berkaitan, dimana ketika sala satunya mengalami patahan, maka yang lainpun akan bermasalah. makna yang dapat saya tangkap dari ceramah tersebut yang dimaksud dengan tiga saling berkaitan ini adalah, antara kata hati, perbuatan, dan ucapan. ketika kata hati selaras dengan ucapan, maka begitupun dengan tindakan seseorang. ketika dipadukan dengan makna sebelumnya artinya perbuatan kita sebenarnya itu adalah perbuatan tuhan karena antara hamba yang bertindak dengan tuhan tidak terpisahkan. konsep ini sudah dijelaskan oleh Ibn Arabi antara tahun 560-638 H yang kemudian sampai saat ini dikenal dengan konsep Wahdat Al-Wujud. dan ternyata disisi lain konsep ini telah mengakar dalam jiwa setiap orang bugis sejak Islam menjadi keyakinan orang bugis.


Konsep dasar Wahdat Al-Wujud merupakan “suatu ajaran yang melihat masalah wujud dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu kesatuan. Namun berada pada dimensinya masing-masing, dan Tuhan meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada bersifat nisbi; merupakan ada yang diadakan tidak lain dari yang mengadakannya. Sebab apa yang ada merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada bersumber dari-Nya serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak berarti yang diadakan dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak berarti alam semesta dan manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi manusia. Antara Tuhan, alam semesta dan manusia sekalipun dikatakan berbeda dalam satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia nisbi dan terbatas. Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas. Sedang Tuhan yang tidak terbatas ada di luar relasi, bukan yang ada dalam pengertian dan perasaan. Tuhan adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya. Ada-Nya bukan dari luar diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan tetapi ada karena diri-Nya dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang diciptakanNya. Hubungan dengan segala yang dicipytakanNya. Dia membutuhkan mereka dalam kaitannya dengan ketuhananNya. Sebab tanpa makhluk ciptaanNya Dia tidak dikenal sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan (ilah) sampai maluh (komplemen logis dari ilah) diketahui. Maka Ibnu Arabi melihat realitas alam dan manusia tidak lain dari tajalli ilahi sekaligus sebagai cermin untuk melihat diriNya yang Maha Sempurna. Demikian pula sebagai pengenalan akan keberadaanNya. Hal yang demikian ini pulalah yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.”


Begitu dalam sebenarnya makna dari kata “Dua Temmassarang ritellue Temmallaiseng” Cuma terkadang kita tidak tertarik untuk mengkaji kearifan dari leluhur kita. saya baru menyadari kalau ternyata leluhur kita telah mengenal konsep Wahdat Al-Wujud jauh sebelum buku-buku dari timur dengah berdatangan ke negeri ini hanya untuk menjelaskan konsep tersebut, yang ternyata orang bugis juga telah memahami hal tersebut. saya merasa sangat menyesal  ketika baru menyadari bahwa kearifan kita menyimpan begitu banyak nilai yang bisa dikaji kemudian diamalkan. ini baru satu kalimat yang saya kemukakan, dan bisa jadi teori-teori lain dari luar yang selama ini kita berusaha pelajari dan pahami ternyata tersimpan rapat dimulut para penutur bugis. Wallahu alam.

SILSILAH RAJA-RAJA DI SULAWESI SELATAN


RAJA-RAJA DI SULAWESI SELATAN
KERAJAAN LUWU
Nama-nama Pajung/Datu Luwu
    Berikut ini adalah nama-nama Pajung atau Datu yang pernah memerintah Kerajaan Luwu yang diawali oleh kepemimpinan Batara Guru dan diakhiri oleh Andi Djemma sebagai raja terakhir.

- Batara Guru, bergelar To Manurung merupakan Pajung / Datu Luwu ke-1.

- Batara Lattu’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 2 memerintah selama 20 tahun.

- Simpurusiang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 3 memerintah pada tahun 1268-1293 M.

- Anakaji, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 4 memerintah pada tahun 1293-1330 M.

- Tampa Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 5 memerintah pada tahun 1330-1365 M.

- Tanra Balusu, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 6 memerintah pada tahun 1365-1402 M.

- Toampanangi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 7 memerintah pada tahun 1402-1426 M.

- Batara Guru II, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 8 memerintah pada tahun 1426-1458 M.

- La Mariawa, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 9 memerintah pada tahun 1458-1465 M.

- Risaolebbi, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 10 memerintah pada tahun 1465-1507 M.

- Dewaraja, bergelar Maningoe’ ri Bajo merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 11 memerintah pada tahun 1507-1541 M.

- Tosangkawana, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 12 memerintah pada tahun 1541-1556 M.

- Maoge, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 13 memerintah pada tahun 1556-1571 M.

- We Tenri Rawe’, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 14 memerintah pada tahun 1571-1587 M.

- Andi Pattiware’ Daeng Parabung atau Pattiarase, bergelar Petta Matinroe’ Pattimang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 15 memerintah pada tahun 1587-1615 M.

- Patipasaung, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 16 memerintah pada tahun 1615-1637 M.

- La Basso atau La Pakeubangan atau Sultan Ahmad Nazaruddin, bergelar Petta Matinroe’ ri Gowa (Lokkoe’) merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 17 memerintah pada tahun 1637-1663 M.

- Settiaraja, bergelar Petta Matinroe’ ri Tompoq Tikkaq merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 18 dan ke- 20 memerintah pada tahun 1663-1704 M.

- Lamaddussila Petta Matinroe’ ri Polka, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 19, memerintah ketika Settiaraja pergi membantu Gowa menghadapi VOC.

La Onro Topalaguna, bergelar Petta Matinroe’ ri Langkanae’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 21 memerintah pada tahun 1704-1706 M.

Batari Tungke, bergelar Sultan Fatimah Petta Matinroe’ ri Pattiro merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 22 memerintah pada tahun 1706-1715 M.

- Batari Tojang, bergelar Sultan Zaenab Matinroe’ ri Tippulue’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 23 memerintah pada tahun 1715-1748 M.

We Tenri Leleang, bergelar Petta Matinroe’ ri Soreang merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 24 dan ke- 26 memerintah pada tahun 1748-1778 M.

Tosibengngareng, bergelar La Kaseng Petta Matinroe’ ri Kaluku Bodoe’ merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 25 memerintah pada tahun 1760-1765 M.

- La Tenri Peppang atau Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Sabbangparu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 27 memerintah pada tahun 1778-1810 M.

- We Tenri Awaru atau Sultan Hawa, bergelar Petta Matinroe’ ri Tengngana Luwu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 28 memerintah pada tahun 1810-1825 M.

- La Oddang Pero, bergelar Petta Matinroe’ Kombong Beru merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 29 memerintah pada tahun 1825-1854 M.

- Patipatau atau Abdul Karim Toapanyompa, bergelar Petta Matinroe’ ri Limpomajang, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 30 memerintah pada tahun 1854-1880 M.

- We Addi Luwu, bergelar Petta Matinroe’ Temmalullu merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 31 memerintah pada tahun 1880-1883 M.

- Iskandar Opu Daeng Pali’, bergelar Petta Matinroe’ ri Matakko merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 32 memerintah pada tahun 1883-1901 M.
- Andi Kambo atau Siti Husaimah Andi Kambo Opu Daeng Risompa Sultan Zaenab, bergelar Petta Matinroe’ ri Bintanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 33 memerintah pada tahun 1901-1935 M.
- Andi Jemma, bergelar Petta Matinroe’ ri Amaradekanna merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 34 dan ke- 36 memerintah pada tahun 1935-1965 M.
- Andi Jelling, merupakan Pajung / Datu Luwu ke- 35 memerintah ketika Andi Jemma ditahan dan diasingkan oleh Belanda.
I. Kerajaan Luwu
Pada bagian awal tulisan ini telah diuraikan perihal Kerajaan Luwu yang "diakui" sebagai Kerajaan Asal seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan. Maka dibawah ini diuraikan pula uraian silsilah keturunan para Pajung dan Opu di Luwu yang menyebar ke kerajaan lainnya.
Telah diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa sejak Dynasti Dewata ManurungngE telah terjadi perhubungan kawin mawin dengan pendiri kerajaan lainnya, baik di Jawa maupun di kawasan timur Indonesia pada masa kini. Maka pada bagian ini diuraikan perkawinan para Bangsawan Luwu dengan Bangsawan dari negeri-negeri lainnya pada masa syiar Islam di Sulawesi Selatan pada abad XVI, sebagai berikut :VERSI 1 LA PATI WARE PATI RIARASE kawin dengan we tenri waja melehirkan DATU PASAUNG DAN somba BAINEYA..Somba baineya Kawin dengan sultan alauddin melehirkan opu kasalle istri dari DATU palisubaya matinroe ri gowa
    VERSI 2 .Pati Arase’ (La Pati Ware') DaEng Parambong (Dg. Parabbung) Sultan Muhammad Waliyu Mudharuddin Petta MatinroE ri Ware’ Pajung ri Luwu XVI (Raja Luwu pertama masuk Islam, menurut silsilah TippuluE adalah Pajung ke XIII), menikah dengan  ? KaraEngta ri Balla’ Bugisi (saudara kandung  I Mangngarangi DaEng Manrabia Sultan Alauddin Somba Gowa XIV, Raja Gowa pertama yang masuk Islam), melahirkan : 1. ? Pati Pasaung  Sultan Abdullah Mahyuddin Petta MatinroE ri MalangkE Pajung ri Luwu XVII, 2. ? Petta MatinroE ri Somba Opu, 3. ? Somba BainEa. 
    Pati Pasaung  Sultan Abdullah Mahyuddin Petta MatinroE ri MalangkE Pajung ri Luwu XVII, menikah dengan  ? We Panangngareng Petta MatinroE ri Judda , melahirkan : ? Palissubaya Sultan Ahmad Nazaruddin  Petta MatinroE ri Gowa Pajung ri Luwu XVIII.
   Palissubaya Sultan Ahmad Nazaruddin  Petta MatinroE ri Gowa Pajung ri Luwu XVIII  menikah dengan  ? Opu DaEng MassallE, melahirkan : ? Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka PAjung ri Luwu XIX.
    Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu XIX, menikah dengan  ? Petta To CEnrana (Bone), melahirkan : ? La Sangaji Opu Patunru Luwu.
    Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu XIX, menikah dengan ? We Diyo’ DaEng Massiseng Petta I Takalara  MatinroE ri LawElareng , melahirkan putera puteri, sbb :
1. La Onrong Topalaguna Pajung ri Luwu XX  menikah dengan   We PAttEkEtana (puteri La Mappajanci Sultan Ismail Datu TanEtE dengan permaisurinya : We Tenri Abang Datu MArioriwawo = adik Arung Palakka Petta MalampEE Gemmena) , melahirkan :  Batari Tungke’ Pajung ri Luwu XXII.
Kemudian, ..
La Onrong Topalaguna Pajung ri Luwu XX  menikah dengan   I Rukiah , melahirkan : La KasEng Tosibengngareng Petta MatinroE ri Kaluku BodoE Pajung ri Luwu XXI , menikah dengan opu Dg Tacona dan   I Saoda Datu Pacciro,  I Saoda melahirkan :
La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVI  menikah dengan  ? I Wakkang Batari Toja DaEng Matana Datu Bakke’ (puteri We Tenri LElEang)
Salah Satu Cucu La Kaseng Matinroe Kalu Bodoe Yaitu Andi Abdullah Opu Topano Opu Nene Jelling Arung Cenrana Luwu Bin A.katote Bin Lakaseng Matinroe kaluku Bodoe...Andi Abdullah Opu Topano seorang Wali Allah Yang Mensucikan Dirinya (To Paccing )Di Mana Kehidupannya Tidak Memakan Makanan Yang Bernyawa Atau Bersumber Dari Api...( Makan Buah Buahan Atau makanan Yang Tidak Di Sentuh Api)Opu Topano Bertempat 2 Alam Di Mana Alam Bumi Dan Alam Atas Istrinya Pun 2 Istri Yang Ada Di Bumi Dan Bidadari..Konon Kabarnya Menurut Cucunya Yang Masih Sempat Melihat Kakeknya Bahwa Kemunculan Opu Topano Ke Bumi pada Hari Jumat Di Kala Bawahannya Atau jamaah Jumat Menunggunya Di Rumahnya ..Rumah opu Topano Bergoyang Dengan Pakaian Yang Tertentu maggenggang Dengan Kemunculannya Di Bumi ....Opu Topano Selaku Imam Pada Hari Jumat...Bahkan Menurut Cerita Cucunya Andi Khameriah Gawena Opu Dg mawaru Bin Andi Banranga Bin Opu Topano...Bahwa Sewaktu Tuanya Dulu Kakeknya Jika Dia Mau Sholat jumatan Di arab Hanya Menutup Kelambu Dan Hilang ntah kemana Dah ada Di tananh Arab..Makannya Di Qubah (ko’ban) Belopa....Wallahu Alam
Kemudian, ..
La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVI  menikah dengan  ? I Manneng DaEng Masiang (puteri ? Arung Timurung Opu PawElaiyyE ri Bola Ukirina, melahirkan :   ? I Tenriawaru Datu Soppeng XXIX Pajung ri Luwu XXVII.
2. We Ummung (Tenri Ummung) Datu Larompong Petta MatinroE ri Bola Jalajjana, menikah dengan  LA Patau’ Matanna Tikka Arung Palakka Sultan Alimuddin Idris Ranreng Tuwa Wajo Petta MatinroE ri Nagauleng Mangkau ri Bone XVI , melahirkan putera puteri, sbb : 
  * La Temmasonge’ (La Mappasosong) Sultan Abdul Razak Jalaluddin Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau’ ri Bone XXII, menikah dengan  ? Sitti Aisyah (puteri Muhammad Maulana KaraEng Tumabbicara Butta Gowa), melahirkan putera puteri, sbb : 1. ? La Balloso’ Toakkotto Muhammad Ramalang Arung PonrE Petta MaddanrengngE ri Bone, 2. ? I Mida Arung Lapanning, 
3. I Rana (We Banna) Petta Ranreng Tuwa Wajo, 4. ? We TenriollE Arung Lapanning, 5. ? I PAkkemme’ Arung Majang.
· We Batari Toja DaEng Talaga Mangkau ri Bone XVII Pajung ri Luwu XXI,
· We Patimanaware’ Arung Timurung Opu PawElaiyyE ri Bola Ukirina,  
· We Patimanaware’ Arung Timurung Opu PawElaiyyE ri Bola Ukirina, menikah dengan ? La Raunglangi Opu Patunru’ Luwu, melahirkan putera puteri, sbb : 1. ? I Manneng DaEng Masia (isteri  ? La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVI ), 2. ? I Pawawoi Opu DaEng Matajang (isteri La Tadda Opu MatinroE ri LEmpa), 3. ? Opu BoE,
· Opu TolEmbaE menikah dengan ? Ana'na Pabbicara Bittua
· La SallE Opu Daeng Panai’ menikah dengan  ? I BessE Opu DaEng Tarima, melahirkan : 1. ? Opu MpElaiyangngi Kannana (suami ? Opu BoE), 2. ? Opu DaEng Talala (suami ? Maddika Sangalla).
Kembali keawal, yakni pernikahan lain ? Sattiaraja,
· Sattiaraja Petta MatinroE ri Tompotikka Pajung ri Luwu XIX, menikah dengan ? We Diyo’ DaEng Massiseng Petta I Takalara  MatinroE ri LawElareng , melahirkan :  ? La Sangaji Opu Patunru Luwu
· La Sangaji Opu Patunru Luwu menikah dengan   ? I Mammu DaEng TalEna, melahirkan  ? La Rumpang Megga TosappEilE Opu Cenning Luwu.
· La Rumpang Megga TosappEilE Opu Cenning Luwu   menikah dengan    ? BAtari Tungke’ Pajung ri Luwu XXII (puteri ? La Onrong Topalaguna Pajung ri Luwu XX  ), melahirkan : 
La Oddangriu Datu TanEtE Datu SoppEng XXIII menikah dengan  ? I Tungke’ Puang DaEng, melahirkan : ? I Sabong,
We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang PAjung ri Luwu XXIII/XXV menikah dengan ? La MAppasiling (La Mappaselli) Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna, melahirkan :  
· La Mappajanci Datu Soppeng XXVII,
· We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu Pattojo Petta MatinroE ri PangkajEnE.
Kemudian We Tenri LElEang menikah lagi, :
We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang PAjung ri Luwu XXIII/XXV menikah dengan ? La Mallarangeng Datu Lompulle’ Datu Marioriwawo, melahirkan : 
· La Tenrisessu Arung Pancana Opu Cenning Luwu 
· I Wakkang Batari Toja DaEng Matana Datu Bakke,
· La Maggalatung Tokali Datu Lompulle,
· I Tenripada DaEng MalEleng,
· I Patimang Dennyarasi MatinroE,
· I Panangngareng Datu Marioriwawo, 
Uraian ini kemudian dilanjutkan pada generasi berikutnya, sbb :
· I Pawawoi Opu DaEng Matajang(puteri ? I Patimana WarE' Arung Timurung Opu PawElaiyyE ri Bola Ukirina,  dengan ? La Raunglangi Opu Patunru’ Luwu) menikah dengan ? La Tadda Opu MatinroE ri LEmpa, melahirkan :  ?  We Kabo Opu DaEng Nipati (isteri La Makkasau Arung KEra Dulung Pitumpanua bin La Temmasonge’ "La Mappasossong" Sultan Abdul Razak Jalaluddin Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau’ ri Bone XXII dengan Sitti Habibah)
· Opu BoE (puteri ? I Patimana Ware' Arung Timurung Opu PawElaiyyE ri Bola Ukirina, dengan ? La Raunglangi Opu Patunru’ Luwu)  menikah dengan ? Opu MpElaiyangngi Kannana (putera La SallE Opu DaEng Panai), melahirkan :  ?  Opu Indona Ako
· Opu DaEng Talala (puteri ? La SallE Opu Daeng Panai’ dengan  ? I BessE Opu DaEng Tarima) menikah dengan ? Maddika Sangalla, melahirkan :  ? La Konta Opu DaEng Mamangung (Suami Opu MatinroE ri BonE LEmo)
· Kemudian pula,
· We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu PAttojo Petta MatinroE ri PangkajEnE (puteri ? We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang PAjung ri Luwu XXIII/XXV dengan ? La Mappasiling "La Mappaselli" Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna)  menikah dengan ? La Kasi DaEng Majarungi Petta PonggawaE ri Bone (putera La Temmasonge' Arumpone MatinroE ri Mallimongeng), melahirkan :  ? La Banrulla
· Kemudian ..
· We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu PAttojo Petta MatinroE ri PangkajEnE menikah dengan ? La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo, melahirkan : 1. ? We Tenri Balobo DaEng riyasE Datu Pammana, 2. ? I Mappanyiwi Datu Pammana, 2. ? I Sompa DaEng Sinring DAtu Pammana, 3. ? I BubE KaraEng PambinEang, 4. ? La Tenri Dolong To LEbbaE Datu PAmmana
· La Mappajanci Datu Soppeng XXVII (putera ? We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXIII/XXV dengan ? La Mappasiling "La Mappaselli" Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna) menikah dengan ? I Sabong (puteri La Oddangriu Datu TanEtE Datu SoppengXXIII), melahirkan : ? We MEnengratu Arung Lipukasi
· Kemudian ..
· La Mappajanci Datu Soppeng XXVII menikah dengan ? We TenriollE Arung Lapanning  , melahirkan putera puteri, sbb : 
We Tenri Ampareng Datu Lapajung Datu Soppeng XXX (isteri La PabEangi    Datu Ganra Arung BElawa), 
La MappapolEonro Sultan Nuhung Petta MatinroE ri Amalana Datu Soppeng XXVIII (suami ? I Tenriawaru Datu Soppeng XXIX Pajung ri Luwu XXVII binti La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVI).
La Tenrisessu Arung Pancana Opu Cenning Luwu (putera  ? We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXIII/XXV dengan ? La Mallarangeng Datu Lompulle’ Datu Marioriwawo) menikah dengan ? We Tenrilawa BessE PEampo (puteri La Passaung Arung MEngE dengan We Tenri LEkke Arung Sajoanging), melahirkan : ? La Makkarakalangi Baso Tancung Datu Marioriawa (suami I Dulu Datu Mario ri Attangsalo) 
Kemudian ..
La Tenrisessu Arung Pancana Opu Cenning Luwu menikah dengan ? I Pada Punna BolaE Petta ri Silaja, melahirkan : ? Asia Datu Lompulle’ (isteri La Mappaware’ Datu Lamuru putera ? I Panangngareng Datu Marioriwawo dengan ? La Sunra Datu Lamuru)
La MappapolEonro Sultan Nuhung Petta MatinroE ri Amalana Datu Soppeng XXVIII (Putera ? La Mappajanci Datu Soppeng XXVII dengan ? We TenriollE Arung Lapanning)  menikah dengan ? I Tenriawaru Datu Soppeng XXIX Pajung ri Luwu XXVII binti La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVI, melahirkan putera puteri, sbb : 
La Tenri Oddang Pajung ri Luwu XXVIII (suami We Habibah Opu Daeng Talebbi),melahirkan:  La JEmmabaruE Pajung ri Luwu XXIX (suami Opu DaEng PAnangngareng), melahirkan :  I Kambo (We KAbbe) Opu DaEng ri Sompa Pajung ri Luwu XXXII (isteri La Tenri LEkke’ Opu Cenning Luwu), melahirkan : Andi JEmma Petta MatinroE ri Kemerdekaanna Pajung ri Luwu XXXIII (suami Andi Tenripadang Opu Datu Luwu binti Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim Datu Suppa Petta MatinroE ri Gowa MAngkau ri Bone XXXII/XXXIV), melahirkan : Andi JEmma BaruE.
La Tenri Sessu’ Arung Galung (suami  I WEwanglangi), melahirkan : La Mattarima
La Sumangerukka Arung BEru-BEru (suami  Ane’ Banna Opu Indona I Raju), melahirkan :    I Mappa’ DaEng Tasana
I Pancaitana Arung Akkampeng (isteri La Rumpangmegga Datu Lamuru bin La Mappaware’ Datu Lamuru dengan Asia Datu Lompulle), melahirkan : I Panangngareng Datu Lompulle’ (isteri La Patongai Datu Pattiro), melahirkan : Laonrong Datu Pattiro Datu Soppeng XXXII (suami  I Baccicu Datu Ganra Arung BElawa), melahirkan : I Soji  Arung BElawa Datu Madello (isteri La TEngko Petta MancijiE ri Wajo bin La Tune’ Sangiang Arung BEttEngpola Petta MatinroE ri Tancung), melahirkan : Andi Patongai Datu Doping Arung BElawa.
La Guttu Patalo Datu Mari-Mari (suami  I MaurantE Petta Ipao)
10 La Saliu Opu Sanggaria (suami  Arung Lita)
11 We Singara’ DaEng MAtana (isteri La WEwang Opu MatinroE ri Baruganna bin La Makkasau Arung KEra Dulung Pitumpanua dengan We Kabo’ Opu DaEng Nipati)
12 We Hamidah Pajung ri Luwu XXX
13 La PAmadenglettE Datu Watu Opu Cenning Luwu (suami  I Pada DaEng Makanang bin La Makkasau Arung KEra Dulung Pitumpanua dengan We Kabo’ Opu DaEng Nipati )
Mencermati uraian silsilah diatas, dapatlah dilihat bahwa Andi JEmma  Pajung ri Luwu XXXIII yang merupakan Raja Luwu terakhir, sesungguhnya memiliki darah campuran” Gowa, Bone, Wajo, Soppeng, Sangalla, Barru, serta menjalin hubungan kekerabatan dengan semua Raja-Raja se-Sulawesi Selatan dan Barat. Maka pernyataan seorang kerabat kami yang "merasa" sebagai "Orang Luwu Asli" beberapa tahun yang lalu, bahwa : "..tahta Pajung Luwu PANTANG dan TIDAK PERNAH diduduki oleh seorang bangsawan yang tidak berdarah LUWU MURNI !", kini terbukti sebagai kekhilafan yang tidak perlu adanya.
Panguriseng  sebagaimana  diuraikan  diatas  dikutip dari Lontara Abbatirengna Ana' ArungngE ri Soppeng dari "parEEna" (Bab) : Abbatirengna Ana' ArungngE ri Luwu yang dikutipnya pula dari himpunan silsilah Paduka H. Andi Wana Datu Soppeng XXXVI. Pada lontara silsilah ini didapati "perbedaan" dengan Lontara Silsilah lainnya yang menyangkut perihal Raja-Raja Luwu, yakni : ? I Kambo (We KAbbe) Opu DaEng ri Sompa Pajung ri Luwu XXXII (isteri La Tenri LEkke’ Opu Cenning Luwu) yang pada Lontara lainnya disebutkan sebagai lelaki, diantaranya pada salinan Almarhum Paduka Opu TosinilElE. Kemudian pada bagian lainnya, didapati pula perbedaan versi era jabatan Pajung yang pada hemat penulis tidaklah mengurangi otentitas dan prinsif-prinsif referensinya.
Mengingat kita bersama yang bertitel "Putera Belawa" ini, maka penulis dapat menyatakan bahwa para turunan bangsawan di Belawa pada saat ini dapat pula dikatakan sebagai "Orang Luwu". Salah seorang tokoh Belawa pada abad XVIII yang keturunannya adalah hampir segenap turunan bangsawan di Belawa pada masa ini, adalah : La Tamang Petta Palla'E adalah sesungguhnya "Wija Luwu" pula, sebagaimana diuraikan, sbb :
We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang PAjung ri Luwu XXIII/XXV menikah dengan ? La MAppasiling (La Mappaselli) Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna, melahirkan :  ? We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu Pattojo Petta MatinroE ri PangkajEnE.
We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu Pattojo MatinroE ri PangkajEnE menikah dengan ? La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo, melahirkan : ? We Tenri Balobo DaEng riyasE Datu Pammana,  
 We Tenri Balobo DaEng ri YasE Datu Pammana  menikah dengan  ? La Sappo Petta Ogi Datu Palireng Arung Belawa MatinroE ri CempaE, melahirkan :  ? La Tamang Petta Palla'E.
La Tamang Petta Palla'E  menikah dengan   ? I LEkke' (puteri DaEng Parebba Petta Bulu'bangi), melahirkan : 1. ? La Pamessangi Baso' Parepare,  2. ? La PallEmpa DaEng Pawawa Petta MatinroE ri PittuE.
La Pamessangi Baso' Parepare menikah dengan   ? I RubEng, melahirkan : 1. ? La Tiling DaEng Maggading SullEwatang BElawa Orai', 2. La Mantu Petta Palla'E.
La Tiling DaEng Maggading SullEwatang BElawa Orai' menikah dengan   ? I Mannungke' (puteri Arung Data), melahirkan : ? La Dai Puenna Mattiroang.
Perhubungan Belawa dengan Luwu sesungguhnya sangat erat, mengingat ? La Mappasiling (La Mappaselli) Datu Pattojo Petta MatinroE ri Duninna (suami We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang PAjung ri Luwu XXIII/XXV) dimakamkan pula di "Jara' LompoE" di TippuluE, Belawa.
Pada hampir semua Lontara Panguriseng yang penulis baca, baik Silsilah Ajappareng (SidEnrEng, Rappang, Suppa, Alitta, Sawitto dan Parepare), maupun Soppeng, Pammana, TanEtE, Pancana, Berru, MandallE', SEgEri, PangkajEnE (kepulauan) hingga Gowa dan Bone, maka tokoh ? We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang Pajung ri Luwu XXIII/XXV adalah Tokoh Sentral didalamnya. Bahkan lebih jauh pula, jika merunut ke kitab Tuhfat an Nafis, karya Pahlawan Nasional Pujangga Raja Ali Haji yang memuat perihal sejarah dan silsilah para "Opu Lima" juga mengakar dari nazab - We Tenri LElEang, diuraikan dengan penyesuaian Lontara panguruseng Soppeng, sbb :
We Tenri LElEang Petta MatinroE ri SorEang PAjung ri Luwu XXIII/XXV menikah dengan ? La Mallarangeng Datu Lompulle’ Datu Marioriwawo, melahirkan :  1. ? La Tenrisessu Arung Pancana Opu Cenning Luwu ,  2. ? I Wakkang Batari Toja DaEng Matana Datu Bakke,  3. ? La Maggalatung Tokali Datu Lompulle, 4. ? I Tenripada DaEng MalEleng, 5. ? I Patimang Dennyarasi MatinroE, 6. ? I Panangngareng Datu Marioriwawo,7. ? La Maddusila Toappasawe’ Datu TanEtE
La Maddusila Toappasawe’ Datu TanEtE  menikah dengan ?  I Seno  Datu Citta (puteri La Temmasonge’ Sultan Abdul Razak Jalaluddin Petta MatinroE ri Mallimongeng Mangkau’ ri Bone XXII dengan Sitti Habibah Cucu syekh yusuf Tuanta Salama), melahirkan putera puteri, sbb;ada yang memperkirakan salah satunya 1.Opu Tenriborong DaEng ri LEkke’ (Upu Tendri Burang Dahing Rilaga : Tuhfat An Nafis), menikah dengan   ? …………….. , melahirkan putera puteri, sbb : Opu DaEng Parani (Upu Dahing Parni ; Tuhfat An Nafis) menikah dengan ? Anana Nakoda Alang (Kari Abdul Malik, seorang Saudagar Wajo yang menjadi pemuka masyarakat di Pulau Siantang, Kalimantan Timur), , melahirkan putera puteri, sbb : 1. ? Opu DaEng Kamboja Yang Dipertuan Muda Riau III” (1746 – 1777), 2. ? Opu DaEng Khatijah (Permaisuri Raja Alam, Kerajaan Siak Sri Inderapura). Opu DaEng Parani  kemudian menikahi pula Puteri Raja Selangor  dan Adik  Raja Kedah yang menurunkan para Sultan Selangor dan Sultan Kedah hinggah sekarang. Opu DaEng MarEwa (Upu Dahing Marewah : Tuhfat An Nafis) Pangeran Kelana Jaya Putera Yang Dipertuan Muda Riau I” (1721 – 1729). Opu DaEng Cella’ (Upu Dahing Celak : Tuhfat An Nafis) Sultan Alauddin Syah Yang Dipertuan Muda Riau II, Johor dan Pahang dengan segala daerah taklukannya (1729 – 1746) menikah dengan ? …………………………………….. , melahirkan putera puteri, sbb : Raja Aji Marhum As Syahid fi Sabilillah Teluk Ketapang Yang Dipertuan Muda Riau IV” (1777 - 1784)      menikah dengan                 ? …………………….. , melahirkan :  ? Angku Raja Ahmad Al Haj menikah dengan ? ……………………..  melahirkan :  ? Raja Ali Al Haji (Bapak Bahasa Indonesia dan penulis Tuhfat An Nafis)                                                              
2.Raja Lumun Sultan Salehuddin” Raja Selangor I (naik tahta pada tahun 1743)      menikah dengan ? ……. , melahirkan : Sultan Ibrahim Raja Selangor II menikah dengan ? ……..  melahirkan :  ? Sultan Muhammad Raja Selangor III. Opu DaEng Manambung (Upu Dahing Menambung: Tuhfat An Nafis ) Pangeran Emas Surya Negara Sultan Mempawah (Kalimantan Barat).Opu DaEng KamasE (Upu Dahing Kamasi : Tuhfat An Nafis ) Pangeran Mangkubumi Raja Sambas (Kalimantan Timur ?)
.Tapi ini masih teka teki karna opu 5 abad 17 perbedaan tahun abad 17 sedangkan la maddussila datu tanete terdapat pada abad 18 jadi lebih tua cucu dari pada kakek.
sekiranya yang dimaksud dengan datu luwu la maddusilat itu atau apa yang dimaksud keturunan dari melayu dengan opu 5 sekiranya ada pada pemerintahan petta matinroe dipolka la maddusilat petta matinroe ripolka.dan ada juga memperkirakan adalah  raja bone sultan adam tenri ruwa...tetapi dengan penulusaran ternyata ada pada keturunan pakokkoe orang tua la patau matanna tikka ..tetapi dengan istri lain  dari anak datu luwu pati pasaung dan melahirkan anak lamaddusila ponggawa pallopie  opu dg Rilekke ..wallahu alam.jadi lapatau matinroe naga uleng saudara seayah la maddusila ponggawa pallopie...opu 5        
                                                                                                                                  
LA MADDUSSILA  DATU TANETE  17 dengan I SENO DATU CITTA melahirkan  
                                                                                                                                                                                                                 1.la  buccu api petta.dulung ajangale  matinroe ri leang leang                                                                                                  2.We Puttiri dg nisanga
3.Tosepaile petta dulung  letewe rimusu sigeri.                                                                          Salah satu Keturunan  La TOSEPPAILE petta dulung  letewe ri musu sigeri  melahirkan anak sbb; Latahere dengan La batto ,Latahere Dengan Istri I Pannyili Cucu Muh.AliPuang Ridjoleng Kali Tanete Melahirkan Puang Yusuf dan yusuf melahirkan puang Muhammad Istri Kolosong Cucu Datu Latarannu,dan Muhammad melahirkan Anre gurutta K.H djamaluddin Aliah seorang khadi barru atau dikenal puang KALI BARRU..KH.djamaluddin  Aliah  Dengan Istri Hj.Hafsah Dg Makerra melahirkan  Anak 4. Bersaudara 
A.1.HJ.Hasanah  Aliah     2.H.Abd hafid Aliah    3.Abd Djalil Aliah    .4.Hj.salehah  Aliah
4.Sitti Halijah Arung Pao menikah dengan  ? Toappasawe’ Arung Berru, melahirkan : ? La Sumangerukka Topatarai menikah dengan  ? I BaEgong Arung MacEgE (puteri Toappatunru Petta MatinroE ri Lalengbata Mangkau’ Bone XXIII dengan Arung Kaju),  melahirkan : 1.? Singkerrurukka Arung Palakka Mangkau’ ri Bone XXIX, 2. We Tenripada Arung Berru (isteri I Malingkaan Somba Gowa XXXIII)
5.I Cudai Daeng Risompa Arung Berru
6.I Buba /we Kajao dg talaga Datu Citta
7.I Cammi
8.La Patau Datu TanEtE menikah dengan ? I Pancu Petta Mabbola jenne, melahirkan : ?A. La samang dg mallette  karaeng tanete  Kawin Dg Yuru Datu Lagosi ,Melahirkan Besse Makkaratte suami Muhammad Saleh ,Melahirkan I mokko Suami La Pakkanna Petta Batue, Melahirkan I jamila Petta Cak Suami La Dussu Petta Ambo ,Melahirkan H.Andi Pamairi Istri Hj. Aminah Melahirkan Hj.Andi Jenne Pamairi S.Hi Suami Saifuddin Hafid Aliah S.Hi Opu Daeng Mamase  Generasi Ke 5  (Mappibati) Toseppaile Bin Lamaddusila Datu Tanete + We Seno Datu Citta  Dan Ibu Generasi 5 Datu Luwu 25 Payunnge Lakaseng Petta matinroe Kaluku Bodoe                                                                                                                                       9.I Tomanggung Petta Adinnge Matinroe Ri Deae                                                                     10.La TowaggangmettE Datu Citta Petta Matinnroe RiTenngana Alitta  menikah dengan   ? I Hindong, melahirkan : ? La Mattalatta Arung Bila
11.MaggamoE
12.I Tenri Jai
13.I BessE                                                                                                                                                                                                                                                                        14.I Tenri Gogo Arung Belo
Kemudian salahseorang putera ? La MappapolEonro Sultan Nuhung Petta MatinroE ri Amalana Datu Soppeng XXVIII dengan ? I Tenriawaru Datu Soppeng XXIX Pajung ri Luwu XXVII binti La Tenri Peppang DaEng Paliweng Petta MatinroE ri Sabbangparu Pajung ri Luwu XXVI, yakni : ? La PamadenglettE Datu Watu Opu Cenning Luwu, telah mengukuhkan namanya sebagai tokoh pusat yang menurunkan Raja-Raja terkemuka di Wajo, Soppeng, Sawitto, Pammana, Pamboang (Mandar, Sulawesi Barat), Belawa dan lainnya, sebagaimana diuraikan dibawah ini : 
? La PAmadenglettE Datu Watu Opu Cenning Luwu menikah dengan   ? I Tenri Arung Singkang (Wajo), melahirkan putera puteri, sbb : 
1.   La Paremma' Datu La Pajung
2.   We Gau
3.   I MundEng
4.   La TalEmpeng Arung Singkang Datu Soppeng XXXIII menikah dengan ? I Tahira Petta Patola Wajo, melahirkan putera puteri, sbb :
-     I Baccicu Datu Ganra Arung Belawa,
-     I Mappanyiwi Datu Watu Petta Patola Wajo
   I Mappanyiwi Datu Watu Petta Patola Wajo menikah dengan ? La Walinono Datu Botto, melahirkan putera puteri, sbb :
*    ? La OddangpEro Datu Larompong Arung Matoa Wajo XLIV menikah dengan ? I Tenri Esa', melahirkan : ? La Sumange'rukka Petta Patola Wajo menikah dengan ? I Panangngareng Datu Pattojo, melahirkan : ? I Pancaitana Datu Pattojo (isteri Muhammad Arsad Datu Marioriwawo bin La Mangkona Datu Marioriwawo Arung Matoa Wajo XLV)
? La OddangpEro Datu Larompong Arung Matoa Wajo XLIV menikah dengan ? I Nomba KaraEng Ballakaca, melahirkan putera puteri, sbb :
·    ? La Maddukelleng Petta Cakkuridi ri Wajo (suami I Tenri SanrE  Addatuang Sawitto XIV)
·   ? Batari Toja Arung Gilireng menikah dengan  ?  La Mappanyompa Petta MaddanrengngE ri Pammana melahirkan putera puteri, sbb :
~ ?  Pallawarukka Petta PillaE ri Wajo
~ ?  Tenriampareng Datu Pammana
*     ? La Wawo Datu Botto menikah dengan ?We Tenrimario Datu Lamuru, melahirkan :  ? La Mangkona Datu Marioriwawo Arung Matoa Wajo XLV ; (Arung Matoa Wajo Terakhir) menikah dengan ? Addiluwu Datu Watu, melahirkan putera puteri, sbb:
-     Muhammad Arsad Datu Marioriwawo
-     Tenri AbEng (isteri La PatEttEngi Addatuang Lolo Sidenreng)
-     Tenri Angka (isteri Tonralipu Maraddia Pamboang, Mandar)
-     Tenri Pakkemme’ (isteri Abu BaEdah Arung Ganra)
-     I Baccicu Datu Lamuru (isteri Sulolipu Petta Tomarilaleng Bone)
*    I Tenriwatu Sultanah Zaenab Datu Soppeng XXXV menikah dengan ? La PabEangi Arung Ganra SullE Datu Soppeng (putera La Onrong Datu Pattiro Datu Soppeng XXXII dengan I Baccicu Datu Ganra Arung Belawa), melahirkan putera puteri, sbb: 
·         ? La Wana Datu Ganra Datu Soppeng XXXVI (Datu Soppeng Terakhir)
·         ? La JEmma Datu Lapajung,
·         ? I Tahira Petta Patola Wajo,
·         ? Addiluwu DatuE Watu.
Kemudian putera ? La TalEmpeng Arung Singkang Datu Soppeng XXXIII menikah dengan ? I Tahira Petta Patola Wajo yang terakhir adalah :
La PamadenglettE Datu Watu Opu Cenning Luwu  menikah dengan   ? I Pada DaEng Makanang binti La Makkasau Arung KEra Dulung Pitumpanua dengan We Kabo’ Opu DaEng Nipati, melahirkan: ? Iskandar Datu Larompong Pajung ri Luwu XXIX menikah dengan   ? We SabbE Tolebbi, melahirkan: ? I RawE Opu DaENg Talebbi menikah dengan   ? La OddangpEro Datu Larompong Arung Matoa Wajo XLIV melahirkan:  
1. Iskandar Datu Botto
2. La Mappanyompa Opu Totadampali Tomarilaleng Luwu
Sekiranya uraian diatas dikembalikan lagi ke ? We Tenriabang DaEng Baji DatuE Watu Datu PAttojo Petta MatinroE ri PangkajEnE menikah dengan ? La Pallawagau’ Arung Maiwa Datu Pammana Petta Pilla ri Wajo, melahirkan : 1. ? We Tenri Balobo DaEng riyasE Datu Pammana, 2. ? I Mappanyiwi Datu Pammana, 2. ? I Sompa DaEng Sinring Datu Pammana, 3. ? I BubE KaraEng PambinEang, 4. ? La Tenri Dolong To LEbbaE Datu PAmmana, maka melalui garis I Sompa DaEng Sinring DAtu Pammana  yang menikah dengan La Settiang Opu Maddika Bua akan didapati jika mereka akan menurunkan para Datu Pammana, Addatuang SidEnrEng, Arung Rappeng, KaraEng BEroanging, Arung Berru, Datu Suppa, Addatuang Sawitto, Arung Matoa Wajo, Mangkau ri Bone, Arung MallusEtasi hingga Sombayya ri Gowa. Namun mengingat jika  bagaimanapun uraian kita bersama ini akan dilanjutkan melalui perhubungan silsilah pada kerajaan-kerajaan lainnya, maka nantinya akan dibahas pada bagian "Kerajaan SidEnrEng".