Sabtu, 19 November 2016

Dua Temmassarang Tellu Temmallaiseng


Ade' Pitue (Dewan Adat Tuju)
Jangan pernah mengaku keturunan atau wija bugis jika tidak mengenal kata-kata petuah-petuah berbahasa bugis yang pernah dituturkan leluhur kita, minimal pernah mendengar kalaupun tidak paham maknanya, apalagi kalau sampai tidak mampu menuturkan bahasa bugis. Tapi fakta kadang berbicara lain, banyak saya temui pemuda-pemudi jaman sekarang mengaku keturunan bugis, tapi bahasa bugis saja tidak paham, apalagi makna dari kata bugis itu sendiri. ketakutan saya 20 tahun kedepan generasi penerus sudah lebih memahami budaya luar dari pada budaya bugis, bahkan sudah tidak mampu lagi menuturkan bahasa bugis.

Karena saya adalah pemuda yang tumbuh dilingkungan bugis, jadi dari kecil saya sedikit banyak sering mendengar kata-kata bijak atau tetuah leluhur bugis, misalnya saja “mali siparappe, rebba sipatokkong, malilung sipakainge. Resopa temmangingngi malomo naletei pammase dewata. Duami kuala sappo unganna kanukue belona panasae, Yili’ka buaja patompang aje tedong kusala rimajeng. Siapakatau, sipakalebbi, sipakainge.” tak jarang juga kata-kata bijak berbahasa bugis yang memiliki makna spiritual tinggi, misalnya saja kalimat “dua temmassarang ritellue temmallaiseng, jenne telluka sempajang teppettu. Jenne’ telluka Sempajang Teppettu.

Saya tidak akan membedah satu per satu kalimat petua bugis yang saya tuliskan pada paragraph sebelumnya. Tapi saya hanya akan menguraikan sedikit makna tentang kalimat dua temmassarnga ritellue tengmmallaiseng sesuai dengan kada pengetahuan saya. ketertarikan saya dalam mengulas kalimat tersebut berawal disaat setelah saya mendengar lantunan ceramah Ust. Tommy Thompson yang bertema Tasawwuf Bugis. kalimat ”Dua temmassarang ritellue temmalaiseng” sepadan dengan kalimat “Dua yang tak terpisahkan didalam tiga yang saling bekesinambungan” dalam bahasa Indonesia.

kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan bisa menghasilkan beragam penafsiran, dan penafsiran yang coba saya sampaikan berhubungan konsep spiritual yang bersifat sufistik. berangkat dari ceramah ust. Tommy Thompson bahwa yang dimaksud dari kata “dua Temmassarang” (dua yang tak terpisahkan) ini adalah antara Tuhan dengan Hamba, dia berbeda tapi tidak terpisahkan dan tidak mungkin terpisahkan. logika sederhananya begini, kira-kira ketika tidak ada Hamba siapa yang bertindak sebagai Tuhan? sebagaimana yang kita pahami bahwa Tuhan menicayakan Hamba, dan begitupun sebaliknya ketika tidak ada tuhan apakah hamba masih bisa dikatakan sebagai hamba? dari pernyataan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa Hamba adalah bagian dari tuhan, namun hamba bukanlah tuhan.

kalimat selanjutnya “tellu temmallaiseng” yang berarti tiga saling berkesinambungan atau berkaitan, dimana ketika sala satunya mengalami patahan, maka yang lainpun akan bermasalah. makna yang dapat saya tangkap dari ceramah tersebut yang dimaksud dengan tiga saling berkaitan ini adalah, antara kata hati, perbuatan, dan ucapan. ketika kata hati selaras dengan ucapan, maka begitupun dengan tindakan seseorang. ketika dipadukan dengan makna sebelumnya artinya perbuatan kita sebenarnya itu adalah perbuatan tuhan karena antara hamba yang bertindak dengan tuhan tidak terpisahkan. konsep ini sudah dijelaskan oleh Ibn Arabi antara tahun 560-638 H yang kemudian sampai saat ini dikenal dengan konsep Wahdat Al-Wujud. dan ternyata disisi lain konsep ini telah mengakar dalam jiwa setiap orang bugis sejak Islam menjadi keyakinan orang bugis.


Konsep dasar Wahdat Al-Wujud merupakan “suatu ajaran yang melihat masalah wujud dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu kesatuan. Namun berada pada dimensinya masing-masing, dan Tuhan meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada bersifat nisbi; merupakan ada yang diadakan tidak lain dari yang mengadakannya. Sebab apa yang ada merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada bersumber dari-Nya serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak berarti yang diadakan dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak berarti alam semesta dan manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi manusia. Antara Tuhan, alam semesta dan manusia sekalipun dikatakan berbeda dalam satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia nisbi dan terbatas. Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas. Sedang Tuhan yang tidak terbatas ada di luar relasi, bukan yang ada dalam pengertian dan perasaan. Tuhan adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya. Ada-Nya bukan dari luar diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan tetapi ada karena diri-Nya dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang diciptakanNya. Hubungan dengan segala yang dicipytakanNya. Dia membutuhkan mereka dalam kaitannya dengan ketuhananNya. Sebab tanpa makhluk ciptaanNya Dia tidak dikenal sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan (ilah) sampai maluh (komplemen logis dari ilah) diketahui. Maka Ibnu Arabi melihat realitas alam dan manusia tidak lain dari tajalli ilahi sekaligus sebagai cermin untuk melihat diriNya yang Maha Sempurna. Demikian pula sebagai pengenalan akan keberadaanNya. Hal yang demikian ini pulalah yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.”


Begitu dalam sebenarnya makna dari kata “Dua Temmassarang ritellue Temmallaiseng” Cuma terkadang kita tidak tertarik untuk mengkaji kearifan dari leluhur kita. saya baru menyadari kalau ternyata leluhur kita telah mengenal konsep Wahdat Al-Wujud jauh sebelum buku-buku dari timur dengah berdatangan ke negeri ini hanya untuk menjelaskan konsep tersebut, yang ternyata orang bugis juga telah memahami hal tersebut. saya merasa sangat menyesal  ketika baru menyadari bahwa kearifan kita menyimpan begitu banyak nilai yang bisa dikaji kemudian diamalkan. ini baru satu kalimat yang saya kemukakan, dan bisa jadi teori-teori lain dari luar yang selama ini kita berusaha pelajari dan pahami ternyata tersimpan rapat dimulut para penutur bugis. Wallahu alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar