Makna dibalik kata “Dua Temmassarang Tellu Temmallaiseng”
Ade' Pitue (Dewan Adat Tuju) |
Jangan
pernah mengaku keturunan atau wija bugis jika tidak mengenal kata-kata
petuah-petuah berbahasa bugis yang pernah dituturkan leluhur kita, minimal
pernah mendengar kalaupun tidak paham maknanya, apalagi kalau sampai tidak
mampu menuturkan bahasa bugis. Tapi fakta kadang berbicara lain, banyak saya
temui pemuda-pemudi jaman sekarang mengaku keturunan bugis, tapi bahasa bugis
saja tidak paham, apalagi makna dari kata bugis itu sendiri. ketakutan saya 20
tahun kedepan generasi penerus sudah lebih memahami budaya luar dari pada
budaya bugis, bahkan sudah tidak mampu lagi menuturkan bahasa bugis.
Karena saya adalah pemuda yang tumbuh dilingkungan bugis, jadi dari kecil saya sedikit banyak sering mendengar kata-kata bijak atau tetuah leluhur bugis, misalnya saja “mali siparappe, rebba sipatokkong, malilung sipakainge. Resopa temmangingngi malomo naletei pammase dewata. Duami kuala sappo unganna kanukue belona panasae, Yili’ka buaja patompang aje tedong kusala rimajeng. Siapakatau, sipakalebbi, sipakainge.” tak jarang juga kata-kata bijak berbahasa bugis yang memiliki makna spiritual tinggi, misalnya saja kalimat “dua temmassarang ritellue temmallaiseng, jenne telluka sempajang teppettu. Jenne’ telluka Sempajang Teppettu.
Saya
tidak akan membedah satu per satu kalimat petua bugis yang saya tuliskan pada
paragraph sebelumnya. Tapi saya hanya akan menguraikan sedikit makna tentang
kalimat dua temmassarnga ritellue tengmmallaiseng sesuai dengan kada
pengetahuan saya. ketertarikan saya dalam mengulas kalimat tersebut berawal
disaat setelah saya mendengar lantunan ceramah Ust. Tommy Thompson yang bertema
Tasawwuf Bugis. kalimat ”Dua temmassarang
ritellue temmalaiseng” sepadan dengan kalimat “Dua yang tak terpisahkan
didalam tiga yang saling bekesinambungan” dalam bahasa Indonesia.
kata
tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan bisa menghasilkan beragam
penafsiran, dan penafsiran yang coba saya sampaikan berhubungan konsep
spiritual yang bersifat sufistik. berangkat dari ceramah ust. Tommy Thompson
bahwa yang dimaksud dari kata “dua Temmassarang” (dua yang tak terpisahkan) ini
adalah antara Tuhan dengan Hamba, dia berbeda tapi tidak terpisahkan dan tidak
mungkin terpisahkan. logika sederhananya begini, kira-kira ketika tidak ada
Hamba siapa yang bertindak sebagai Tuhan? sebagaimana yang kita pahami bahwa
Tuhan menicayakan Hamba, dan begitupun sebaliknya ketika tidak ada tuhan apakah
hamba masih bisa dikatakan sebagai hamba? dari pernyataan sebelumnya, bisa
disimpulkan bahwa Hamba adalah bagian dari tuhan, namun hamba bukanlah tuhan.
kalimat
selanjutnya “tellu temmallaiseng” yang berarti tiga saling berkesinambungan
atau berkaitan, dimana ketika sala satunya mengalami patahan, maka yang lainpun
akan bermasalah. makna yang dapat saya tangkap dari ceramah tersebut yang
dimaksud dengan tiga saling berkaitan ini adalah, antara kata hati, perbuatan,
dan ucapan. ketika kata hati selaras dengan ucapan, maka begitupun dengan
tindakan seseorang. ketika dipadukan dengan makna sebelumnya artinya perbuatan
kita sebenarnya itu adalah perbuatan tuhan karena antara hamba yang bertindak
dengan tuhan tidak terpisahkan. konsep ini sudah dijelaskan oleh Ibn Arabi
antara tahun 560-638 H yang kemudian sampai saat ini dikenal dengan konsep
Wahdat Al-Wujud. dan ternyata disisi lain konsep ini telah mengakar dalam jiwa
setiap orang bugis sejak Islam menjadi keyakinan orang bugis.
Konsep
dasar Wahdat Al-Wujud merupakan “suatu ajaran yang melihat masalah wujud
dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu kesatuan. Namun berada pada
dimensinya masing-masing, dan Tuhan meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada
bersifat nisbi; merupakan ada yang diadakan tidak lain dari yang mengadakannya.
Sebab apa yang ada merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada
bersumber dari-Nya serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak
berarti yang diadakan dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak
berarti alam semesta dan manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi
manusia. Antara Tuhan, alam semesta dan manusia sekalipun dikatakan berbeda
dalam satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia
nisbi dan terbatas. Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas. Sedang
Tuhan yang tidak terbatas ada di luar relasi, bukan yang ada dalam pengertian
dan perasaan. Tuhan adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya.
Ada-Nya bukan dari luar diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan
tetapi ada karena diri-Nya dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang
diciptakanNya. Hubungan dengan segala yang dicipytakanNya. Dia membutuhkan
mereka dalam kaitannya dengan ketuhananNya. Sebab tanpa makhluk ciptaanNya Dia
tidak dikenal sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan (ilah) sampai maluh (komplemen
logis dari ilah) diketahui. Maka Ibnu Arabi melihat realitas alam dan manusia
tidak lain dari tajalli ilahi sekaligus sebagai cermin untuk melihat diriNya
yang Maha Sempurna. Demikian pula sebagai pengenalan akan keberadaanNya. Hal
yang demikian ini pulalah yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar