Senin, 14 November 2016

BAHASA BUGIS, BAHASAKU

BAHASA BUGIS, BAHASAKU
Berpeluh di ujung jenuh takkan membuatmu senang pada akhirnya. Dibekukan olehnya akan membuat tak bisa melihat sisi lain yang akan ada di ujung jalan. Aku mengerti sesuatu yang mungkin kau takkan pernah untuk mengerti. Melihat di ujung lelahku akan membuatku semakin lelah, berusaha menghindar sejenak dengan mencoba berpaling arah di lautan biru yang bisa memberiku kesejukan di akhir waktu.Baru beberapa menit untuk kulakukan itu, suara berita di salah satu statsiun televisi membuatku berpaling arah. Iya itu adalah berita mengenai Sosok Minggu ini, itu adalah orang yang tak lain bagiku. Beliau adalah sosok yang memperjuangkan untuk melestarikan bahasa bugis (lontara). Bahasa yang menjadi ciri khas kami saat berkomunikasi. walaupun beliau yang ditanyangkan dalam sosok minggu ini itu bertempat tinggal di Bone, yah masih bertetangga lah dengan tempat kelahiran saya “Soppeng” . Tapi setidaknya kami memiliki kesamaan saya dan beliau adalah anak ogi (keturunan orang bugis). Bahasa bugis memang hanya satu tapi logat (cara khas berbicara) kami yang banyak, Bahasa bugisnya orang soppeng, orang bone, orang sengkang, orang makassar, orang sidrap, dan masih banyak lagi pasti memiliki logat yang berbeda. Tentu saja saat kami berjumpa dengan saudara kami dari beberapa kabupaten itu pasti ada semacam senyum tawa yang terselip saat kami mencoba untuk mencocokkan bahasa kami. Bagi kompasianer yang membaca, sedikit memberikan pengetahuan Suku bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deotero-Melayu, atau Melayu muda. Kata bugis berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang bugis. Penamaan “ugi merujuk pada raja pertama kerjaan Cina yaitu La Sattumpugi. Beliau adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang ebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang pertama di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masayrakat Bugis. Karena Masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyaraktnya hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lainnya adalah pedagang Selain itu juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Seperti Bahasa Indonesia, bahasa nasional kita. Bahasa bugis juga mempunyai peribahasa yang pastinya memiliki arti yang sangat mendalam jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satunya : Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui me’nre tessurui nok, malilusipakainge, maingeppi mupaja (Rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti) Artinya : Pesan agar orangselalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarngi kehidupan. Harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Hal itu akan terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Itu sedikit yang bisa saya berikan mengenai bahasa bugis, bahasaku dalam postingan saya kali ini. Saya tidak akan pernah malu saat menggunakan bahasa ini, karena ini adalah bahasaku. Bahasa yang mungkin sebagian kompasianer tidak mengetahui untuk mengucapkan. Tapi saat mencoba untuk mendendangkannya pasti ketagihan apalagi menyanyi dalam bahasa bugis. Itu sangat indah dan sangat menyentuh. Postingan ini saya khiri lagi dengan pribahasa bugis : sadda mappabati’ ada, ada mappabati’ gau, gau mappabati’ tau (Bunyi mewujudkan kata, kata menandakan perbuatan, perbuatan menunjukkan manusia). Semoga kompasianer melalui akhir minggu ini dengan keceriaan ^^

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ririnpuspitasari/bahasa-bugis-bahasaku_54f71c46a33311a42e8b46ad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar