Cerita Rakyat : Doko-dokona Passompe’E
Ceritera ini merupakan ceritera
rakyat (Legenda) yang mempunyai banyak peristiwa yang luar biasa.
Substansinya ada pada Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, dan sangat
berguna pada saat ini dimana budaya sipakatau atau sipakalebbi sudah
mengalami pergeseran dalam alam demokrasi lokal. Baik itu masyarakat
lokal maupun bagi pasompe (Pengembaraan Orang Bugis) yang senantiasa
rindu kampung halamannya, maupun pernah mendengar ceritera masa lampau
oleh orang tua kita dahulu hingga dibawa ke perantauan.
Hal ini merupakan ceritera tersendiri di
kalangan pasompe, membuat rindu kampung halaman, sanak saudara dan
Wari’ (asal usul), memperpanjang usia (lamperi sunge) karena mengembang
biakkan manusia (Pabbija Tau) dan Merindangkan Pepohonan (Palorong
Welareng) di tanah seberang di mulai dari Cina, Malaysia, Singapura,
Kamboja, Philipina, dan Australia (Hamid;2004). Bahkan sampai ke Johor,
Selangor, Trenggano, dan Pahang. Begitu pula La Maddukelleng dalam
pengembaraannya menaklukkan Kesultanan Pasir tahun 1726, kemudian
merebut Kutai, Pangatan, Banjarmasin dan daerah sekitarnya. Disebutkan
bahwa La Maddukelleng kawin dengan anak Sultan Pasir yang bernama Andeng
Ajeng. Setelah Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir 14, Ayahanda Andeng
Ajeng) wafat, istri La Maddukelleng dicalonkan menjadi Ratu Pasir, Namun
sebagian orang-orang pasir menolak pencalonan tersebut. Akibat dari
penolakan itu, pasukan La Maddukelleng menyerang dan menaklukkan Pasir.
Hasil penaklukan tersebut La Maddukelleng naik tahta menjadi Sultan
Pasir ke 15, selain itu beliau juga bergelar Arung Peneki, Arung
Singkang, Arung Matoa Wajo ke XXXI (Maulana;2003).
La Maddukelleng Daeng Simpuang adalah
keturunan ke-6 dari La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo
ke IV dengan We Pageri Arung Cabalu, Latadampare adalah anak dari La
Tompi Wanua Arung Sailong dengan We Tenri Lewi (Saudara La Tenri Ampa
Arung Palakka) dan Lamaddukelleng adalah cucu dari Arung Menge Ranreng
Talottenreng. Sesuai dengan hukum adat ketatanegaraan Kerajaan Wajo,
Arung Matowa Wajo harus dilantik oleh Arung Betteng Pola yang mempunyai
kedudukan sebagai Petta Inanna Limpoe (Ibu Rakyat Wajo)
(Maulana;2003:38).
Adapun asal usul Arung Betteng Pola,
Arung Talottenreng dan Arung Sao Tanre (Ranrenge ri Tua) merupakan
anak-anak yang lahir dari perkawinan putri Mappajunge (Raja Luwu) dengan
putra Arumpone (Raja Bone). Asal usul nya dikemas dalam “PAUPAU
RIKADONG”
Konon kabarnya di Kerajaan Luwu pada
masa lampau mempunyai seorang Puteri (Arung Welampelang) yang ditimpa
bencana yaitu mengalami penyakit kulit yang baunya sangat amis dan busuk
( masala uli ). Dia anak tunggal sekaligus sebagai anappattola (Pewaris
Tahta).
Pada suatu waktu berkumpullah rakyat
Luwu bersama para Tokoh Adat (Pampawa Ade’) disebabkan orang di Luwu
takut ditulari penyakit yang seperti itu. Ayah-bundanya menjadi susah
karena musibah yang menimpa putrinya. Berdatanganlah para dukun (Sanro)
dan tabib, tetapi penyakitnya malah membuat orang tak tahan mencium
baunya yang sangat menusuk hidung. Dia hendak dibunuh, tapi tidak boleh
sebab dia adalah keluarga yang tak boleh didurhakai lagi pula ia
berdarah mulia (Maddara-takku’), karena Raja (Mappajung) mereka di sana
dianggap berasal dari dewa (Batara Guru Sangkuru Wira Mula Tau Tellang
Pulawennge) yang berdarah putih bagaikan getah dari pohon takku bagaikan
susu, Takku (Caktus) (Mappasanda,2007).
Oleh karena itu amat susahlah orang di
Luwu. Terjadilah pada suatu waktu, orang Luwu berhimpun sampai di Wara
yang berbatas dengan Baebunta, demikian pula mereka yang berada di Bulu’
Polo. Adapun sebagai hasil dari persetujuan mereka adalah sepakat
menghadap ke Mappajunge (Raja Luwu) untuk memperoleh persetujuan yang
telah disepakati oleh mereka yaitu yang mana kiranya dihargai oleh
beliau, telur sebutir atau telur yang banyak. Setelah mereka duduk
berhadapan dengan Mappajunge mereka tunduk, bisu seribu bahasa.
Maka bertitahlah Mappajunge, “Apakah
hajat kalian Adat Luwu bersama dengan orang banyak?” Adat Luwu sama
berucap : “Tiada lain hajat penting yang kami bawa menghadap Raja kami
selain hendak menyampaikan rasa takut kami, demikian juga takut ditulari
penyakit yang menimpa Puteri Raja kami. Adapun kesepakatan dan
persetujuan (Siamaturuseng) kami adalah yang mana Tuan inginkan, telur
yang sebutir ataukah telur yang banyak. Sekiranya Tuan menginginkan
telur yang sebutir, maka berkehendaklah rakyat (atanna) Mappajunge
malleke’ dapureng, berpindah orang di Luwu sampai di Wara sini, batasnya
di Baebunta sana, tempat diterima beritanya di Bulu’ Polo sana. Akan
tetapi sekiranya Tuan masih tetap mencintai telur yang banyak, baiklah
kiranya jikalau puteri Raja kami yang malasa kumpinge (berpenyakit
infeksi pada kulit) itu dijauhkan.
“Kubenarkan kata kalian orang di Luwu,
“Jawab Raja”. Lebih kuhargai orang yang banyak dari pada orang yang
satu. Bukankah janjiku dahulu, janji yang kita sepakati bersama
(Risiamaturuseng), yang disaksikan oleh Topabbare’ bareede (yang maha
memelihara) bahwa meskipun anakku, isteriku, sekiranya kalian
mencelanya, akupun tak menyukainya. “Ini merupakan pertanda seorang Raja
yang memiliki nilai Lempu’ (kejujuran), Asitinajang (Kepatutan) dan
Getteng ( Keteguhan)” kemudian Raja Luwu berkata betapakah pendapat
kalian?” Serentak berucap Adat Luwu, “syukur alhamdulillah” sebab
Mappajunge ternyata mengikuti kesepakatan orang banyak. Kalau demikian
titah Baginda maka kami pikir, Tuan Puteri sebaiknya di buang (ri pali),
sebab hendak dialirkan darahnya, hal tersebut tak dapat diadatkan di
tanae’ di Luwu ( Yanaro ana appona Mappajunge de siseng-siseng nawedding
dibukkakan darana ).
Baginda pun menjawab “Kuteguhkan
(Magetteng) apa yang kalian setujui”. Kemudian Adat Luwu bersama orang
banyak berkumpul untuk membuatkan rakit besar (pincara) bagi puteri
Rajanya. Setelah rampung, merekapun bersama-sama naik memberitahukan
Baginda. Ketika mereka berada di hadapan Baginda, bertitahlah beliau
kepada puterinya. “Kumpulkan semuanya hai anakku, barangmu yang telah
kuserahkan menjadi milikmu. Ambil juga semua sahayamu yang engkau
senangi untuk menyertaimu. Pergilah kerakit membawa nasibmu (Totomu).
Betapa besar cintaku inginkan kita hidup
bersama-sama tetapi negeri dan rakyat Luwu tak mengizinkannya
disebabkan penyakitmu ketika itu. Sang puteripun mengumpulkan
inannyumparenna (ibu penyusunya), pattarana’na (yang memelihara dan
menjaganya) semua sahanya; dikumpulkannya pula semua barang yang telah
dimilikinya kepadanya. Segala-galanya telah siap, lalu diapun
serombongan berangkat turun ke rakit. Diantar oleh ayah-bunda Rajanya
(Mappajunge-Petta Makkunrai), Adat (Pangaderreng) , anak-anak raja
(Anakarung), putera-putera mahkota (Anappattola), dan orang banyak
(Pabbanuwa).
Tali tambat rakitpun ditetas dan
semuanya sudah berada diatas rakit. Sama merangkun rakit ke tempat yang
dalam, dihanyutkan oleh arus sungai. Empat puluh hari, empat puluh
malam, mereka hanyut tak tentu tempat tujuannya. Hanyalah nasib (Toto)
dan nilai luhur yang dimiliki oleh sang puteri yaitu Asitinajang
(Kepatutan), Getteng (Keteguhan) atau kesabaran, meskipun mata tak bisa
terpejam karena memikirkan suratan takdir (Pammase) dari yang maha
memelihara yang mesti diterima di dunia ini.
Mataharipun bersinar dari atas gunung.
Sinarnya berpendar-pendar lembut terang-temerang. Dan Allah
memperlihatkan kekuasaanNya; saatnya telah tiba. Rakit sudah berada di
sungai yang agak sempit. Sahayanya lalu sama-sama turun, menarik rakit
mencapai tepian. Merekapun naik ke darat, perempuan naik membenah,
sedangkan laki-laki sama pergi mencari tanah tempat berumah. Tampaknya
negeri ini bukanlah wilayah Luwu, mereka lalu menemukan pohon besar yang
didekatnya ada sungai-sungai yang tak pernah kering, mereka lalu
berembuk dan semua laki-laki memikir-mikirkan.
Akhirnya sepakat untuk membangun rumah
yang patut (Sitinaja) buat Puteri Rajanya. Setelah rumah rampung
dibangun, maka turunlah mereka ke rakit untuk memberitahukan puteri
Rajanya tentang kesepakatan yang telah mereka buat. Tuan puteri
mendengarkan kata para sahayanya, termasuk mereka yang diambilnya
sebagai orang tua (Tomatuwa), sambil berkata “Apa yang telah menjadi
kesepakatan kalian, itu pulalah yang kudengarkan dan kuteguhkan
(Magetteng)”. Lalu merekapun sama kembali lagi lalu membangun pula rumah
buat mereka masing-masing. Semua laki-laki tadi sama pergi mpukke tana
(membuka atau mengolah lahan) ada yang berladang jagung, ada pula yang
bersawah, juga ada yang menanam keladi, pisang dan sayur-mayur. Itulah
yang dikerjakan oleh kaum laki-laki. Adapun yang dikerjakan oleh kaum
perempuan, di waktu tanaman suami mereka telah berhasil seperti padi
(Sangiangseri) merekalah yang menuainya lalu dibawakan kepada Rajanya,
Demikianlah kelakuan sahayanya, laki-laki dan perempuan.
Pada suatu waktu, mereka membawa padi
dan jagung, menjemurnya di depan rumah Rajanya. Bila pagi datang,
laki-laki dan perempuan berangkat, juga orang-orang tua dan anak-anak
semuanya. Mereka berangkat pergi mencari rezki (dalle) di dalam hutan
dan di lahan. Jikalau mereka semuanya telah lepas berangkat, maka Tuan
puteripun yang berpenyakit kulit itu pergi pula menjemur padi. Begitulah
kelakuan sahaya dan sang Raja setiap harinya.
Terjadilah pada suatu waktu, ketika sang
Puteri turun ke tanah hendak membenahi padi yang ada di depan rumahnya,
tiba-tiba dia melihat seekor kerbau balar (Tedong Mpuleng) sedang
berada di dekat onggokan padi, Diapun pergi menghalaunya tetapi dia
sendiri hendak diseruduk oleh kerbau balar, bahkan dikejar kian-kemari
sampai Tuan Puteri terjatuh. Maka datanglah sang kerbau tadi menjilat
seluruh dahinya sampai sekujur tubuhnya. Kemudian sang kerbau balik
kembali masuk hutan. Anak Rajapun bangkit berdiri dengan penuh lumuran
air liur sang kerbau. Lalu Tuan Puteri pergi mandi di sungai yang ada di
dekat rumahnya. Selesai mandi, diapun naik kerumahnya (Salassana)
sambil memikirkan nasibnya takdir dari Allah Subhanahu Wataala.
Tuan puteri lalu mengambil cermin dan
berkaca memperhatikan dahinya bekas jilatan kerbau. Diperhatikannya
wajahnya, dan dilihatnya sudah ada perubahan; demikian pula perubahan
pada tubuhnya. Dia pergi ke tempat tidurnya membaringkan dirinya, lalu
terlena sampai tertidur.
Ketika dia terjaga dari tidurnya, diapun
menyaksikan dirinya, penyakitnya telah berubah, semua sahanya yang
sedang gembira kembali dari pekerjaannya, bertambaha bersuka cita
menyaksikan Puteri Rajanya. Demikian itu kerjanya setiap hari, Jikalau
pagi telah datang, diapun turun ketanah menjemur padinya, dan sang
kerbau datang pula menjilat sekujur tubuhnya sampai kulit Tuan puteri
pulih kembali keadaannya seperti semula dia dijadikan oleh Allah ta’alah
(Suatu pertanda bahwa jika Allah menghendaki tidak ada satupun makhluk
di dunia ini yang mampu menghalanginya).
Tepat pada saat itu konon kabarnya, pada
suatu waktu putera Arumpone (Anappattola) hendak pergi berburu, maka
dikumpulkanlah semua anreguru pakkennyarange (Guru penunggang kuda)
bersama mereka yang gagah perkasa. Keberangkatannya telah disiapkan
dengan pengiringnya (Joa), para penunggang kudanya. Lantas guru
penuggang kuda naik menghaturkan kepada Arumpone (Raja Bone), kemudian
Baginda bertitah kepada pembawa puan (pakalawingepue) supaya pergi
menyampaikan Putera Mahkota (Anappattola) agar berangkat besok pagi
menuju Awangpone berburu rusa. Pada keesokan harinya, Putera Mahkotapun
berangkat diiringi oleh para penunggang kudanya dan mereka yang gagah
perkasa, Tujuh hari tujuh malam dalam perjalanan, mereka kehabisan bekal
dan laparpun mulai terasa sehingga Beliau merasa ibah melihat semua
orangnya sedang menanggung lapar. Dia lalu menyuruh supaya pergi mencari
makanan sebab terasa sangat lapar. Orang banyak membagi diri
terpencar-pencar ke segala penjuru untuk mencari makanan.
Ada yang menyusuri sungai Walanae
(Sungai Cenrana), ke bawah; ada yang tetap mengikuti sungai itu, dan ada
pula yang menyeberanginya di bagian sebelah bawah. Yang terakhir inilah
yang menampak asap kejauhan. Akhirnya mereka tiba di tempat itu. Mereka
ini terperanjat menyaksikan sejumlah rumah, dan sebuah rumah besar
menandakan rumah Raja. Ketika yang disuruh tadi (Suro) tiba, maka
sekonyong-konyong tertangkap matanya pada tuan Raja Puteri. Hati
berdebar menyaksikan kecantikannya. ” Apa gerangan hajatmu,” kata Tuan
Puteri yang empunya rumah; “Orang dari mana kamu, mengapa kalian
kelihatan gugup memandang saya. “Sembah Tuan”, jawab yang disuruh, “kami
dari Bone, disuruh oleh Putera Arumpone (Anappattola) pergi mencari
makanan sebab dalam perjalanan berburu, bekal kami telah habis, sehingga
kamilah yang disuruh mencari makanan”.
Berkatalah yang empunya rumah kepada
pattudang (protokol) supaya pergi memasakkan putera Arumpone. Pattudang
bangkit; beras diambilnya juga ayam disuruh potong. Gadis-gadis
bangsawan datang semuanya. Bersama pattudang mereka lalu memasak makanan
yang akan diantar, dibekalkan pada pesuruh putera Arumpone. “Terimalah
makanan ini,” kata Raja Puteri kepada Suro (pesuruh). “Bawakan putera
Rajamu dan sampaikan kepada beliau bahwa tidak ada yang lain dapat
kubekalkan kecuali hanya sekedar ini saja, nasi dan lauk-pauknya serta
beberapa buah telur, sebab kamipun di sini adalah orang terdampar dari
Luwu. Hanyalah teman-teman saya yang bercocok tanam sehingga adalah yang
dimakan.” Adapun suro amat tertarik pada sikap yang manis lagi
menyenangkan itu, ditingkah pula keindahan tutur kata yang tak
terlukiskan.
Tiga orang suro tadi mengatur sembah,
mohon pamit sambil berangkat pulang memikul bawaan. Setelah mereka tiba,
maka orang banyakpun sama terkejut termasuk Rajanya yang menyaksikan,
disamping banyaknya juga dalam keadaan yang sangat berpatut (Sitinaja).
Dari Awassalo Tuanku,” kata suro, “kami
mencari makanan. Seorang gadis Puteri Raja yang membekalkan. Konon
beliau datang dari Luwu. Sembahku Tuanku, tiada pernah kulihat ada
perempuan secantik dia. Ramah-tamah pada joa’na (rakyat pengikutnya),
pandai mengumpul-menghimpun orang yang baik budi pekertinya (madeceng
kininnawai), lagi bijak bertutur kata. Banyak temannya dan juga lengkap
peralatan semua laki-lakinya. Beliau yang membuka tanah, berumah di
bawah pohon Wajoe”. Putera Raja mendengarkan semua kesan yang
disampaikan, kemudian mereka makan bersama-sama.
Selesai makan, berkatalah Putera
Arumpone; “pakailah masing-masing senjatamu dan siapkan semua kuda, Aku
ingin mengunjungi Raja perempuan tersebut, yang datang dari Luwu itu.
Dia begitu besar ibah hatinya mengirimkan makanan kepada kita”. Semuanya
sudah di atas kuda, satu rombongan berangkat menuju Awassalo. Suro tadi
yang dijadikan mata laleng (penunjuk jalan). Tiba-tiba mereka terkejut
nampak sebuah rumah Raja, dikelilingi rumah-rumah sahayanya, dialiri
sungai-sungai yang tak kering. Ketika mereka tiba di ambang perkampungan
Raja perempuan, lalu rombongan turun dari kuda mereka, Putera Arumpone
menyuruh naik memberi tahukan tentang kehadiran dirinya.
Setelah suro tiba diatas, berkatalah
pattudange; “Suro dari mana engkau, apa gerangan hajat anda, siapa yang
menyuruh?”. “Putera Arumpone yang menyuruh saya. Beliau sekarang berada
di ambang rumah berhajat menemui Tuan Raja Puteri dari Luwu, “Jawab
suro. Maka berkatalah inannyumparenna Raja yang empunya rumah,
“bagaimana pendapat senngata (panggilan sederajat antara mereka yang
berbakti kepada raja), sebab Raja seorang gadis (Welampelang).
“Tiada lain yang dihajatkan Puwakku
(Rajaku) kecuali ingin naik makkasuwiyang (bertemu dan berbakti) sebab
beliau telah dikirimi makanan yang memberatkan perasaannya, yang juga
dirasakan oleh rombongan dan sesama kami, jikalau tidak datang membawa
diri kehadapan Tuan Puteri Raja dari Luwu. Maka Inannyumpareng (indo
pasusunya) pun lalu masuk ke bilik (kamar) memperkatakan kepada anaknya.
Berkatalah puteri Rajanya; “Jikalau
demikian kesepakatan kalian, undanglah beliau naik dan ajak pula semua
lelaki yang telah kujadikan orang tua.” Tidak lama kemudian, hadirlah
seluruh joa’na (Kesatria) yang laki-laki dan mereka yang dijadikan orang
tua. Lalu dijemput pulalah rombongan orang yang dari Bone naik di
watampolae (rumah induk; tetamu yang diterima di rumah induk, adalah
tamu yang amat dihormati). Sesudah itu, lalu disambut pula Putera
Armpone oleh Pattudange, dibasuh kakinya dari cerek emas, diantar oleh
Inannyumpareng, didudukkan di atas tikar permadani. Sambil duduk, mereka
semua terheran-heran menyaksikan saniasa (keteraturan yang berpatutan),
kelengkapan bagi kaum perempuan, kelengkapan bagi kaum laki-laki.
Kemudian masuk inannyumpareng menjemput
anak Rajanya. Beliau di antar keluar, dibimbing oleh Pattudanna,
makkasuwiyang di hadapan putera Arumpone. Takjub mereka semuanya
menyaksikan gerak langkah gemulai dan raut wajah yang mempesona. Setelah
Tuan Puteri Raja duduk di atas tikar permadani, maka tersimbah
perasaan, guncang hatinya putera Arumpone. Entah duduk, entah berdiri,
duduk salah tegakpun salah. Terlenakah dia tak sadarkan diri lagi, gelap
penglihatannya dan rebah jatuh (pingsan) di atas tikar permadani,
bersamaan dengan itu pula Inannyumpareng melompat menerima kepala putera
Arumpone. Secepat itu pula Tuan Puteri Raja minta air di mangkuk putih,
Cepat juga Pattudang membawakannya. Tuan Puteri membuka sanggulnya dan
rambut lepas terurai sudah, dia lalu mencelupkan ujung rambutnya ke
dalam air di mangkuk putih, lantas dipercikkan ke wajah putera Arumpone
sampai dia sadarkan diri. Semua yang hadir takjub melihat kecantikan
yang empunya rumah dalam keadaan rambut tebal terurai itu.
Setelah sadarkan dirinya, bermohon
dirilah dia bersama semua pengiringnya (joa’na), siap berangkat kembali
ke Bone. Begitu dia berada di tanah, diapun menengadah kelangit sambil
membisikkan hatinya. “Ya Allah, telah tertambat hatiku, jika benar aku
seorang anak yang tak boleh didurhakai (toriabusungeng) dan jika membawa
kebaikan bagi diriku serta kebaikan bagi orang banyak, tolong bentengi
aku ya Allah, supaya dapat aku mempersunting Puteri dari Luwu ini.
Tetapi jika sekiranya akan menjadi kebinasaan bagi diriku dan bagi orang
banyak, tolong aku ya Allah, hindarkan hati yang terpukau ini, tiada
kemauan yang akan jadi, iradatMu jualah yang berlaku.”
Begitu selesai membisikkan hatinya
(berdo’a), begitu dia melompat menunggang kudanya, diantar, dikawal oleh
para pengiringnya, keluar meninggalkan gerbang, melintasi sungai
Walanae, menuju Attassalo. Tujuh hari, tujuh malam perjalanan di tempuh
baru mereka tiba di rumahnya di Bone. Begitu beliau turun dari kudanya,
langsung saja naik ke sallassa’e (istana) dan segera masuk ke biliknya
(kamarnya), membuka kelambu sambil merebahkan badannya, terus
menyelimuti kepala dan kakinya. Hanya menangis merindukan Tuan Puteri
yang telah memikat hatinya dalam perjalanannya.
Ketika waktu malam tiba, Arumpone lalu
mencari puteranya sambil bertanya kepada Inannyumparenna. “O Kino (nama
yang biasa dipergunakan oleh raja untuk memanggil Inannyumpareng), “mana
anakmu”. “Sembahku, dia sedang tidur Puang !, “Jawabnya. Bangunkan dia, lalu ajak dia keluar makan,”
perintah Raja (Arumpone). Dia dibangunkan namun tiada juga mau bangun
melainkan hanya menangis. Kepada Raja disampaikan; “Sembahku,” kata
Inannyumpareng, “Dia tidak mau bangun kecuali terus saja menangis, sejak
dia kembali dari berburu, tak pernah dia bangun.” “Sakit apa gerangan
dia anakmu, Kino?” tanya Raja lagi. Dia tidak demam, tidak pula sakit
kepala, ya Puang,”Jawab Inannyumpareng.
Maka bangkitlah Arumpone (Petta Mangkau)
bersama permaisuri (Petta Makkunrai), masuk menjenguk puteranya. Sampai
di dalam, beliau meraba kepalanya sambil berkata ayah bundanya. ” O
Baso,” (nama panggilan orang tua kepada anak laki-lakinya) “kenapa
engkau demikian, apa sakitmu,” Namun si anak tetap saja menyelimuti
kepala dan kakinya sambil air mata tertumpah dari rintihan bayangan
rindu.
Berkatalah Ayahnya, “Kalau-kalau ada
orang yang mengganggu hatimu, maka akan kuperangi negerinya. Bangunlah
Baso, mari kita keluar makan.” Keadaan-nya tak berubah, isak tangis
terus juga, dan tetap menyelimuti seluruh badannya, maka bersusah
hatilah ayah-bundanya melihat keadaan puteranya. Mereka inipun keluar
makan, dan Arumpone menyuruh panggil Anreguru Pakkennyarange yang
menyertai perjalanan Arung Malaloe (Tuan Raja Muda).
Anreguru pakkennyarange pun telah hadir
di hadapan Arumpone, dan diapun ditanya.”Hai Anreguru, apa yang
menyebabkan Arung Malolo terus saja menangis membungkus kepala dan
kakinya dan tidak hendak bangun makan?. “Sembahku,”kata Anreguru,” tiada
pengetahuan saya sebab setiba tadi dari berburu, dia tidak demam, tidak
sakit juga kepalanya, tidak pula pernah terjatuh dari kuda.”
“Kalau-kalau ada orang yang mengganggu perasaannya,” desak Petta
Makkunrai (Permaisuri ).
“Dua kepala orang tak akan berani
berbuat demikian atas diri Arung Maloloe,’ sambung Anreguru, “Mungkin
dia jatuh cinta pada anaknya orang, ataukah dia pernah melihat sesuatu
yang tak biasa baginya lalu menawan hatinya tetapi malu mengatakannya?”
Desak lagi permaisuri.
Maka mulailah Anreguru hendak
menjelaskannya. Biarlah hamba dibunuh, hamba disembelih. Daunlah saya
sedangkan Tuan angin. Paranglah saya, Tuanlah yang menetakkan. Hamba
hendak menjelaskannya. Adapun Arung Malolo tidaklah demam, tidak sakit
kepala tetapi memang dia sedang menanggung sesuatu di dalam hatinya.”
Demikian Anreguru berceritera panjang lebar kepada Puangnya.
“Sesudah Arung Malolo kembali sadarkan
diri, sama takjublah kami semua menyaksikan lagi sebuah kecantikan yang
mempesona dalam keadaan rambutnya Tuan Puteri lepas dari sanggulnya
terurai panjang. Kamipun dijamu kue-kue, takjub kami menyaksikan cara
dan sedianya. Demikian juga guru Pattudanna, tentang caranya
menghidangkan makanan, Aneka rupa macamnya kue sedang tak kelihatan
asap, sampai semuanya masak, demikian juga orang yang membuat kue. Arung
Malolo diaturkan jamuan diatas baki dari perak (Salaka), cangkir tempat
minum kopinya dari emas (Ulaweng), sedangkan tempat kuenya dari
bessikelling (nikel), semuanya ditata emas. Adapun tangkup bakinya
adalah sutera berwarna kuning.
Ketika Arung Maloloe menginjakkan
kakinya di tanah, pandangan Tuan Puteri tak pernah lepas dari balik
tellongeng salae’ (jendela bukan jendela utama) sampai keluar
meninggalkan gerbang. Disepanjang jalan hanya seperti jalan kenangan
tidak satupun butir kata yang keluar dari mulutnya sampai kami semuanya
tiba dan masing-masing kami turun dari kuda. Hanya butir-butir air mata
tampak jatuh berderai yang dibawanya naik ke salassae’. Dia langsung
masuk ke biliknya, terus membuka kelambu, lalu merebahkan badannya
sambil menyelimuti kepala dan kakinya. Hanya inilah sembahku,”kata
Anreguru menutup keterangannya.
Rupanya waktunya telah tiba, Nama harum
Tuan Puteri Raja mulai hendak semerbak. Kemudian berkatalah Arumpone
(Raja Bone) kepada isterinya, “Tahu aku akan caranya. O, Tuan
Permaisuri, beritahu putramu supaya tidak usah bersusah begitu. Jikalau
benar hatinya telah terpaut pada puteri Raja dari Luwu, kalau memang
kasihnya timbul dari lubuk kalbunya yang bening (Ati Macinnong)
mencintai puteri itu, maka akan ku kirim duta (Suro). Kalau sampai dia
menolak lamaran kita, biar kuperangi negerinya. “Masuk lah indo
Puwanna/Petta Makkunrai (ibunda rajanya) menuturkan kepada anaknya. “E,
Baso, bangun kemari nak, apa yang engkau rintihkan dan kesulitanmu.
Sekiranya ada samamu anappattola (anak pewaris tahta kerajaan) yang
menggoda hatimu, biarlah kita meminangnya, membuat sama tinggi tiang
rumahnya. Sekiranya dia adalah tosama’mua (orang kebanyakan) yang
mappolo ada (melanggar aturan), biarlah kusuruh bunuh. Tetapi jika
memang kamu telah jatuh cinta, biarlah kami mengatur duta.” Demikian
bujuk bundanya meyakinkan puteranya.
Betapapun senang hatinya mendengarkan
kata ibunda rajanya ibarat terasa madu yang dituangkan ke dalam lubuk
hatinya. Lantas dia bangun membenahi pakaiannya sambil berkata “Bundaku,
biar saya dibunuh dan disembelih, biar dibuang di kejauhan, Memang saya
telah jatuh cinta pada Puteri Raja dari Luwu. Jikalau bunda tak sedia
memahami hati yang diamuk cinta ini, biar kubunuh diri ini. Sebab tiada
lagi artinya dunia bagi diriku. Kalau tak dapat kupetik dan kupersunting
dia di dunia ini, biarlah jumpa kekasih di akhirat kelak. “Lalu dia
kembali lagi membaringkan dirinya, menyelimuti kepala dan kakinya,
merintih lagi dia. Biarlah aku menyampaikannya kepada ambo’ puangmu
(Tuan Raja,ayahmu), “bujuk lagi Indo’ Puwanna.
Sesudah disampaikan keadaan anaknya,
Arumpone lalu menyuruh Pakalawingepu (Pemangku Puan) menjemput Qadi
(Petta Kalie) dan Ade’ Pitue (Tujuh orang Raja sebagai Kepala Adat)
Bone. Semuanyapun telah hadir di hadapan Arumpone. Bagindapun berkata :
“Kuminta kalian bertindak sebagai duta, berangkat meminang Raja Puteri
yang dari Luwu. Tetapi persenjatai diri kalian. Sekiranya lamaran
diterima, maka tetapkan saja hari jadinya dan segera balik ke Bone
menyampaikannya. Tetapi jikalau natongkangi (mereka menolak) maka
langsung saja angkat senjata lalu suruh beritakan kemari.”
Segalanya telah lengkap, merekapun
berangkat. Tujuh hutan ditembus, tujuh padang nan panjang dilintasi,
baru mereka tiba di sungai Walanae. Mereka menyeberangi Awassalo.
Tiba-tiba sahaya Tuan Puteri Raja menampak mereka. Segera dia berlari
memberitahukan Rajanya. Gegerlah semua perempuan dan sekalian sahaya
datang berkumpul, juga lelaki yang dijadikan orang tua. Disiapkan
senjata dan tombak, Pintu gerbang disuruh dijaga. Empat puluh pucuk
senjata, empa puluh laras meriam. Masing-masing dikawal, kemudian tiba
pulalah Ade’ Pitue bersama Qadhi Bone serta orang banyak, maka
bertanyalah pengawal gerbang. “Orang dari mana kalian?” yang dijawab,
“Kami mengiringi Ade’ Pitue dan Qadhi Bone. “Mereka diminta supaya
menunggu sebentar. “Sengata (sebutan bagi sesama
sahaya) akan menyampaikan dahulu kepada Tuan Puteri Raja.” Ada sejumlah
orang yang datang, mereka berkata, orang dari Bone. Dikatakan mereka
bersama Ade’ Pitue dan Qadi Bone, disuruh oleh Arumpone. Inilah yang
menyebabkan saya naik ke mari,” kata pengawal pintu gerbang. Tuan Raja
Puteripun menyuruh supaya mereka di undang masuk. “Jikalau sudah
takdirku tentu tidak bisa tak kulihat apa yang telah kuiyakan lahir
kedunia ini.”
Pintu gerbang dibuka, mereka yang datang
sama masuk pula. Pattudang sama menanti, juga tau rialena (Keluaga
dekatnya) Tuan Puteri Raja. Mereka menanti di tangga dengan cerek
ditangan. Ketika tamu tiba di tangga, dibasuhlah kaki mereka oleh
Pattudange dari cerek perak (Salaka), langsung naik mengantarkan
ammerakeng (tempat sirih) Sesudah Ade’ Pitue dan Qadi makan sirih,
bertanyalah mereka.
“O, Kino, dimanakah Tuan kita (Puatta),
Puteri Raja yang empunya rumah.” Beliau ada di dalam bilik,” jawab
Inannyumpareng bersama para orang tua. “Kepada siapa sekiranya kami
menyampaikan amanat yang disuruhkan Arumpone dan permaisuri?” tanya duta
dari Bone. Kepada kamilah semuanya disampaikan amanat itu, pesan yang
disuruhkan oleh Tuan Raja!”Jawab Inannyumpareng bersama para orang tua.
Maka berkatalah Ade Pitue bersama Qadi. “Kami membawa hajat dari jauh.
Berhajat Arumpone mempersuami-isterikan Adatnya dan rakyatnya,
mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu, yang
ada berumah, membuka negeri, di bawah pohon Wajoe. Sekiranya orang Luwu
tidak berkenan mempertukarkan kerbaunya dengan kerbaunya Bone, Arumpone
inginkan orang Luwu suka membuat sama tinggi bentengnya dengan bubungan
rumahnya!”
Lalu berkatalah Inannyumpareng dan
orang-orang yang dipandang sebagai orang-tua kerajaan Luwu,”Biarlah kami
merembuk-rembukkannya lebih dahulu. Adapun yang telah kami sepakati
bersama, itulah yang akan kami bawa kepada Tuan Puteri Raja kami. Apalah
nanti yang diinginkan beliau, itu pulalah yang akan kami sampaikan
kepada Ade’ Pitue bersama Qadi Bone. Setelah tiba pada saatnya, maka
berkumpullah semua orang yang datang dari Luwu, semua perempuan, para
gadis, para pemuda nappae mattappi (yang baru mulai memakai keris),
bersama laki-laki yang tua-tua, sama-sama bertukar pikiran.
Maka adapun yang disepakati bersama
yaitu menyetujui untuk mempertukarkan kebau jantannya Bone dengan kerbau
betinanya Luwu, lalu mereka semuanya pun naik menyampaikan kepada
Puteri Rajanya tentang kesepakatan yang telah mereka ambil. Maka
berucaplah Puteri Rajanya :” Apa pun yang kalian telah sepakati, itu
pulalah yang kudengarkan. Akan tetapi yang menjadi keberatan bagiku jika
hendak riarekare (disiasiakan) dan riappanngaddiyang (dimadu).” Para
orang tuapun yang dari Luwu sama menyambut bahwa itulah juga yang akan
menjadi keberatan yang akan disampaikan kepada mereka yang disuruh oleh
Bone. Jikalau hal itu telah disyaratkan, lalu disetujuinya pula,
kemudian dilanggarnya juga, maka itulah yang menyebabkan na-ala puebulo
(terbelahnya bambu; maksudnya, menjadi gara-gara yang menimbulkan
sengketa atau perang).
Selesai itu, keluarlah Inannyumpareng
dan para orang tua yang dari Luwu menghaturkan hasil permufakatan mereka
termasuk syarat yang diajukan oleh Tuan Puteri Rajanya. Berkatalah
kepada Ade’ Pitue dan Qadi Bone. “Adapun yang telah menjadi kesepakatan
kami sengata (para abdi) dari Luwu, menyetujui
mempertukarkan kerbau jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu.
“Hanya ada suatu ada-kipapolo (kata titipan atau pesanan).” Silahkan
sampaikan kepada kami agar kami mendengarkannya supaya kami juga
menyampaikan kepada Arumpone,” sambut duta, Maka berkatalah
Inannyumpareng :”Hanya yang menjadi keberatan kami riarekare’-e’ dan
rippadduwange (dimadu) Jikalau itu yang telah kami syaratkan, lalu
sampai terjadi atas diri kami, maka itulah yang kami jadikan alasan
puebulo.” Lalu dijawablah. “Kami telah mendengar semua kata anda. Itu
jugalah yang akan dihadapkan kepada Arumpone. “Lalu merekapun memohon
diri, sedangkan sebelumnya, waktu pelaksanaan sudah ditetapkan juga.
Merekapun tiba kembali di Bone, sama
menghadap Arumpone. “Duta, bagaiman hasil perjalananmu,” sambut Arumpone
bersama permaisuri. “Kami sudah kembali Puang, Apa yang diinginkan
sama-sama disukai. Suka sama suka dan sama ingin mempertukarkan kerbau
jantannya Bone dengan kerbau betinanya Luwu. Hanya ada sesuatu ada maelo
napapolo.” “Apa gerangan kata itu? Tanya Arumpone. “Hanya yang menjadi
syaratnya orang Luwu yaitu tidak mau disia-siakan (diarekare) demikian
juga dimadu (dipadduwa). Sebab mereka memandang diri, sebagai anappada
(anak sederajat) dan anappattola di Luwu.” Maka berkatalah Arumpone
suami-isteri.”Memang tidak boleh, hai Ade’ Pitu, saling menyia-nyiakan
jikalau mereka sama-sama anappattola.
Sesudah itu, Arumpone menyuruh
memberitakannya di Tana Bone, sampai kepada seluruh palili’na (kerajaan
bawahannya) kepada keluarganya. Kemudian daripada itu, maka
berdatanganlah semua raja bawahannya (Arung Palili) Bone bersama
keluarganya, dengan segala bawaan mereka, datang massolo
(mempersembahkan tanda ikut gembira). Arumpone pun menetapkan hari
keberangkatan mengarak puteranya bersama permaisuri pun bertolak,
diiringi Ade’ Pitue, dan juga oleh orang banyak. Sesampainya di rumah
raja Puteri datang pulalah seluruh orang Luwu menjemput Arumpone bersama
bakal Rajanya.
Dalam perkawinan antara Anappattola Luwu
dan Anappattola Bone sompanya adalah Sompa Tosellitoni (mahar yang
tertinggi yang hanya berlaku bagi anappattola Luwu). Lepas malam
pantangannya maka siyadecengini (berbaiklah keduanya) pengantin baru.
Arumpone bersama permaisuri pun disertai orang banyak, sama kembali
pulalah ke Bone. Hanya yang tinggal ialah masing-masing sahaya Tuan Raja
Muda (Arung Maloloe), juga seyajinna (keluarga) mereka.
Beberapa tahun kemudian, bersalinlah
pengantin baru ini, Para sahayanya juga sama beranak-pinak. Anak-pinak
ini sama meninggalkan negerinya, pergi berkelompok-kelompok. Ada
kelompok yang pergi mencari kehidupan dengan jalan menyadap tuak,
melakukannya dengan cara taro tenreng yaitu memasang tangga. Kelompok
inilah yang disebut Limpoe ri Talottenreng (Kelompok yang berdiam di
Talottenreng). Adapula kelompok yang pergi mencari penghidupan dengan
menangkap ikan dengan cara mattuwa’tuwa’ bale yaitu dengan menggunakan
tuba guna memabukkan ikan. Kelompok inilah yang disebut Limpoe ri Tua’
(kelompok yang berdiam di Tua’).
Adapun kelompok lainnya yang pergi
mencari penghidupannya dengan cara mabbang alliribola yaitu menebang
kayu untuk dibuat tiang rumah, selanjutnya membangun rumah besar.
Kelompok inilah yang disebut Bettempola.
Adapun anak-anak yang lahir dari perkawinan Puteri Mappajunge dengan Putera Arumpone, masing-masing menjadi Raja pada setiap kelompok tadi. Dia yang ke Talottenreng digelarlah Arunge ri Talottenreng; yang ke Tua’ digelar Ranrenge ri Tua; sedangkan yang mendiami Bettempola, dialah yang digelar Petta Betteng.
Adapun anak-anak yang lahir dari perkawinan Puteri Mappajunge dengan Putera Arumpone, masing-masing menjadi Raja pada setiap kelompok tadi. Dia yang ke Talottenreng digelarlah Arunge ri Talottenreng; yang ke Tua’ digelar Ranrenge ri Tua; sedangkan yang mendiami Bettempola, dialah yang digelar Petta Betteng.
Tiga Raja tersebut masing-masing
mengangkat passulle (wakil, misalnya juga sulewatang, artinya wakil
pribadi), dengan gelar masing-masing sesuai dengan warna panji-panji
mereka, yaitu : pilla warna merah; patola warna coklat kehijau-hijauan;
dan cakkuridi warna kuning. Dengan tambahan tiga orang pejabat tersebut,
maka mereka lalu menjadi enam semuanya. Merekapun sama berkata satu
dengan lainnya. “Kita berenam sudah sama dewasa dan besar, dan apabila
terjadi perselisihan di antara kita, siapa lagi yang akan menasihati
kita?” Mereka lalu bersepakat untuk menunjuk seorang yang digelar Arung
Matowa (Raja yang dituakan, suatu jabatan Ketua Pemerintahan Wajo),
sehingga mereka sudah merupakan Tujuh Besar Raja. Adapun tempat dimana
terdapat rumah besar tadi, di bawah pohon Wajo’e, itulah yang disebut
Tana Wajo, atau Tosora.
Cerita Rakyat - Putri Tandampalik (Bone,Wajo,Luwu)
Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak.
Cerita Rakyat - Putri Tandampalik (Bone,Wajo,Luwu)
Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak.
Suatu hari, Putri
Tandampalik jatuh sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau
anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang
penyakit menular yang berbahaya. Datu Luwu pun memutuskan untuk mengasingkan
anaknya agar rakyat-rakyatnya tidak tertular. Lalu ia pergi dengan perahu
bersama beberapa pengawal setianya. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah
keris pada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan
apalagi membuang anaknya.
Setelah
berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau
itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan
buah Wajao saat pertama kali menginjakkan kakinya di tempat itu. "Pulau
ini kuberi nama Pulau Wajo," kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu, Putri
Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru.
Pada suatu
hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampiri
dan menjilatinya. Setelah berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri
Tandampalik hilang tanpa bekas. "Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih
atau memakan kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh," kata
Putri Tandampalik pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu
langsung dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang.
Di suatu
malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang tampan. Dan
Putri Tandampalik merasa mimpi itu merupakan tanda baik baginya. Sementara, nun
jauh di Bone, saat Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik-asyik berburu, ia terpisah dari rombongan Anre Guru
Pakanyareng dan tersesat di hutan. Akan tetapi tidak jauh dari hutan itu, ia
dipertemukan dengan Putri Tandampalik.
Setelah beberapa
hari tinggal di desa itu, Putra Mahkota kembali ke negerinya. Mengetahui apa
yang dialami dan dirasakan anaknya dari Anre Guru Pakanyareng, Raja Bone pun
setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.
Ketika utusan
Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik hanya memberikan keris pusaka
Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketika ia diasingkan. Putri
Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu
berarti pinangan diterima.
Putra Mahkota pun
segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian dan penuh semangat. Setelah sampai
di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik
dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu. Datu Luwu dan permaisuri
sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Maka ia pun menerima keris
pusaka itu dengan tulus.
Tanpa menunggu
lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan
anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan.
Akhirnya Putri
Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo.
Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang
arif dan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar