Kisah sejarah belawa
Nama Belawa berasal dari sebuah
pohon, yaitu pohon Belawa. Asal usul pohon ini hanya tumbuh di pinggir
sungai di Macero. Ketika pohon itu tumbang, panjangnya bermula dari
tikungan sungai Macero sampai Soreang Lopie, kira-kira jauhnya 2,7 km.
bekas tempat tumbuhnya pohon tersebut ada sebuah lubang, sekarang
menjadi penampungan air, garis tengah atau diameter lubang tersebut
kira-kira 25 m. jadi besar pohon tersebut kurang dari 25 m. Getah kayu
ini bila ditoreh akan keluar cairan berwarna putih, setelah kering
berwarna hitam. Bila kena pada kulit manusia, kulit tersebtu akan
gatal-gatal seperti keracunan dan membengkak berisi cairan. Obat mujarab
dan sering digunakan oleh masyarakat adalah ludah orang Belawa asli,
sifat penyakit ini tidak menular. Lokasi kecamatan Belawa dahulunya
adalah air, setiap empat tahun baru daerah ini menjadi daerah pertanian.
Jadi lebih banyak menjadi daerah pertanian. Para nelayan datang dari
sekitar danau tempe dan danau sidenreng. Misalnya orang Bulu Cenrana
dari utara, orang Palippu dari timur, oran Sidenreng dari barat dan
orang Bila dari selatan Soppeng. Kalau musim kemarau, tanah sudah kering
datanglah petani-petani untuk berpalawija dan mereka tinggal sementara
untuk bercocok tanam. Pada musim palawija dan musim penangkapan ikan
dengan frekwensi satu kali palawija empat tahun berturut-turut. Setelah
delapan tahun hampir seluruhnya menjadi daratan. Pada waktu datang air
menggenangi semua pondok mereka, mereka meninggalkan tempat itu dan
kembali ke kampung mereka dan berkumpul dengan keluarganya. Seorang
sudah berusia lanjut, yang sering dipanggil dengan”lato-lato’ mencoba
membuat rumah yang dapat terapung di atas air untuk menghindari banjir.
Sehingga ketika musim hujan tiba, ia tidak perlu lagi pulang ke
kampungnya di Bulu Cenrana. Ketika raja Toapanna dari Mancapai kawin
dengan raja Masalaojie di Sidenreng dan melahirkan lima orang anak.
Karena usianya telah tua, maka Masalojie merasa perlu membagi kerajaan
kepada anak-anaknya. Maka diberikanlah anak pertama sebagai datu di
Sidenreng, anak kedua si Suppa, anak ketiga datu di Sawitto, anak ke
empat datu di Rappang, dan yang kelima datu di Alitta’. Setelah
pembagian kerajaan tersebut, Masalojie hamil, padahal ia tidak berharap
sebab usianya telah tua. Ketika saat melahirkan tiba, lahirlah seorang
putera dan diberinya nama “Lawewangriu”, hal ini dikarenakan ketika ia
dilahirkan pertir dan guruh sambung menyambung (sianre-anre ure’ winrue)
di samping itu juga dilahirkan dalam keadaan tanpa tali pusar dan
janin. Karena kerajaan telah dibagi kepada saudara-saudaranya, maka
Lawewangriu tidak punya kerajaan lagi, ibunya memohon kepada
saudara-saudaranya untuk memberikan masing-masing sedikit dari kerajaan
saudara-saudaranya, akan tetapi hal ini kurang disetujui oleh
saudara-saudaranya yang lain. Kebijksanaan yang diberikan yaitu
Lawewangriu boleh mengambil apa saja yang diinginkan dari kerajaan
saudara-saudaranya itu tanpa ada yang dapat melarangnya. Atas
kebijksanaan itu Lawewangriu bertindak semaunya. Apa yang diinginkannya,
semua dilakukan tanpa ada yang melarangnya. Mulai dari burung sampai
anak gadis orang pun diambilnya. Rakyat merasa resah karena ulahnya itu.
Pemangku adat mengadakan rapat untuk membicarakan perihal Lawewangriu.
Keputusan ade’ sidenreng menyatakan Lawewangriu harus dibuang demi
ketentraman rakyat banyak. Maka dibuanglah Lawewangriu di atas sebuah
rakit bersama pengikutnya yang turut serta. Rakit tersebut terdampar di
bagian timur danau sidenreng. Anak buahnya naik untuk mencari tempat
sebagai pemukiman tempat beristirahat, maka ditemukan sebatang pohon
yang cocok untuk berteduh di bawahnya. Itulah pohon belawae. Di tempat
itu anak buah Lawewangriu membuka lahan pertanian dengan menggunakan
Bangkung manurung pemberian ibunya sewaktu hendak berangkat. Hasil
pertanian cukup melimpah karena tanahnya cukup subur, demikian pula
dengan hasil nelayan bagi mereka yang turun ke danau mencari ikan.
Karena kesuburannya serta keberhasilan pertanian, maka berdatanganlah
penduduk dari sekitar tempat tersebut untuk bertani atau nelayan. Ketika
Lawewangriu hendak menikah dengan anak Arung Batu, orang Belawa
mengadakan musyawarah dengan pendatang dari daerah sekitar, maka
dipanggillah: 1. Topatampanuae yang terdiri dari Wage, Tempe, Sengkang
dan Tampangeng. 2. Tolimpanuae yang terdiri dari Sidenreng, Suppa,
Rappang, Alitta, dan Sawitto. Adapun hasil musyawarah tersebut adalah: –
Lawewangriu kawin dengan anak arung Batu – Orang Belawa menyanggupi
uang belanja dari perkawinan tersebut – Topatampanuae menyanggupi uang
emas. Setelah perkawinan di Batu (Bulucenrana) Lawewangriu kembali ke
Belawa bersama istrinya. Karena panduduk semakin bertambah demikian pula
hasil pertanian kian melimpah, maka masyarakat menginginkan
terbentuknya sebuah kerajaan. Disepakatilah Lawewangriu menjadi raja
Belawa. Masa pemerintahan Lawewangriu pernah berperang melawan
sauadara-saudaranya sendiri yaitu Tolimpanuae dan kemenangan di pihak
Belawa. Sebagai raja yang memerintah kerajaan Belawa, Lawewangriu
mempunyai dua orang anak, maka kerajaan dibagi dua untuk dua orang
anaknya. Belawa Timorengnge diberikan pada Lapalebbengi dan Belawa
Wattangnge diberikan pada We Mappasukku anak perempuannya. Ketika anak
raja bone akan dikawinkan dengan anak raja Sailong (bawahan kerajaan
Bone), kerajaan Sailong merasa keberatan karena menganggap raja Sailong
derajatnya lebih tinggi dari pada kerajaan Bone. Mendapat penolakan dari
raja Sailong, Bone merasa tersinggung, maka didatangkanlah tiga daerah
untuk memerangi Sailong yaitu: Soppeng, Wajo, dan Bone sendiri. Belawa
adalah kerajaan kecil yang mengikut kerajaan Wajo. Setelah tiga tahun
berperang, benteng Sailong belum dapat ditembus, akhirnya raja Bone
sendiri turun ke medan perang. Ketika raja Bone menanyakan tentang
kehadiran semua pasukan, Wajo menyampaikan bahwa Belawa belum hadir,
karena Arungpone marah dan berpesan pada pasukan yang hadir “jere’
tellui Belawa nainappa muelliang musiu (bagi tiga Belawa kemudian kamu
belikan mesiu). Mengetahui dirinya dibagi tiga, kerajaan Belawa merasa
tersinggung, maka bermusyawarahlah Towarani Pitue (tujuh orang
pemberani) yang merupakan gelar yang cukup disegani di kerajaan Belawa
pada saat itu. Atas kesepakatan, berangkatlah tiga orang menuju Sailong,
sedang empat lainnya tetap menjaga kerajaan. Adapun yang berangkat
adalah Tallipulu Bassie, Lajang-lajang, Balo Tekkessue. Sebelum
berangkat ke Sailong mereka berjanji yang bunyinya: “Cappa tappita’pa
mappadaoroane nari jere’ tellu Belawa’. (nanti habis tujuh bersaudara
baru Belawa dibagi tiga). Dengan menggunakan perahu, tiga orang tersebut
menuju Sailong. Sesampainya di sana, Talippulu Bassie membunuh penjaga
gadis Sailong yang bergelar Towaraninna Sailong, sementara
lajang-lajangnge melarikan sang gadis yang bernama Itenri Balobo, dan
Balo Tekkessue membakar kota dan mengambil gendang mesjid untuk dibawa
ke Belawa. Ketika anak raja Bone hendak dikawinkan dengan gadis Sailong,
Belawalah yang menjadi orang tua mempelai wanita. Setelah perkawinan
selesai, Belawa dipanggil oleh raja Bone dan menanyakan kekurangan
Belawa, maka dijawablah bahwa Belawa tanahnya sempit. Sebagai balas jasa
diutuslah Kareng Miko ke Belawa untuk memberikan tanah dengan menaiki
perahu La Batang Kera. Batas-batasnya adalah: – Sebelah selatan Danau
Tempe (masuk danau) – Sebelah barat daya Larippabbatu-batu, masuk sungai
Lawewangriu – Sebelah utara barat laut, Ujung Deya masuk sungai
Amessangeng sampai Cenrana-Anabanua, belok ke Lempong Sitonrae sampai
Lasabo – Sebelah timur, ke Salo Labulu Kessi, menyeberang ke sungai
Lonra, ke Belawa Tassoddo’e, Tellang Rakkoe Awo Tawaroe, ke Labobo,
Ujung Tarae, sampai Lasiratu, Ujung Tanah Lapparingnge. Demikianlah
sehingga wilayah Belawa mulai meluas.
Asal Usul Terbentuknya Kabupaten Wajo
Sejarah Kerajaan Wajo
Sebagaimana halnya daerah-daerah di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil, rasanya kurang lengkap bila tidak membahas salah satu kerajaan tertua yaitu Kerajaan Wajo. Pada masa jayanya, Kerajaan Wajo meliputi beberapa wilayah seperti Kabupaten Sidrap, Bone dan Soppeng serta seluruh wilayah Kabupaten Wajo saat ini. Menurut beberapa sumber, Wajo dibentuk sekitar tahun 1300-an oleh tiga pemimpin negeri, yaitu Bentengpola, Talok Tenreng dan Tuwa. Ketiga pemimpin negeri yang masing-masing disebut Arung ini sepakat membentuk kerajaan bersama yang Dipimpin oleh seorang Arung Matowa. Tahun 1948 adalah tahun berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, ketika pemerintah Republik Indonesia menghapuskan kekuasaan raja di daerah. Reruntuhan kerajaan yang nyaris tak berbekas seolah tak mampu mengungkap kebesarannya. Bahkan kini hanya tersisa satu komunitas pewaris Kerajaan Wajo, yaitu keluarga atau Rumpung Bentengpola. Rumpung Bentengpola merupakan komunitas yang menjadi pilar utama Kerajaan Wajo.
Saat ini komunitas itu memiliki seorang pemimpin yang masih dianggap sebagai raja, yaitu Datu Sangaji, Arung Bentengpola generasi ke-28. Secara administratif maupun struktural, Arung Bentengpola kini tidak memiliki kewenangan. Namun demikian, keberadaannya dianggap mewakili tokoh informal.
Beberapa saat yang lalu, Rumpung Bentengpola menggelar ritual penobatan ulang Arung Bentengpola, yang kini berusia 80 tahun. Pesta yang sudah lebih dari lima puluh tahun tidak pernah diadakan. Ritual yang hampir mirip dengan ritual perjamuan oleh sang raja ini, dilengkapi dengan semua bentuk kesenian yang dilakukan oleh Para Bissu. Bissu adalah para abdi kerajaan yang terdiri dari para waria.
Komunitas Arung Bentengpola yang masih tersisa sampai saat ini, bisa menjadi sebuah mosaik untuk memahami Kerajaan Wajo. Pemerintahan Kerajaan Wajo menempatkan Arung Bentengpola sebagai lembaga yang mengangkat dan melengserkan Arung Matowa atau raja Kerajaan Wajo. Inilah keunikan yang membedakan antara Kerajaan Wajo dengan kerajaan Bugis lainnya.
Sumber lain menyatakan bahwa Kerajaan Wajo didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu dengan putra Arumpone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Dimana posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
Masa keemasan Wajo dicapai di pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Wajo memeluk islam secara resmi ditahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal disana Wajo terlibat perang Makassar 1660-1669 disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bongayya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang.
Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi didaerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Raja Wajo, yang disebut sebagai Arung Matowa bukan merupakan jabatan yang turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo dan diangkat oleh perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Siapa sangka, kerajaan yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem demokrasi yang modern. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga bagi masyarakat kini.
Sejak dahulu kerajaan wajo tidak seperti halnya dengan kerajaan yang ada di sulawesi maupun yang ada di nusantara ini. Kerajaan wajo bukanlah milik kalangan tertentu atau bangsawan saja yang diwariskan secara turun temurun. Kerajaan wajo merupakan kerajaan bersama pemerintah dengan rakyat. Seorang raja diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui hasil keputusan rapat pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e (dewan adat beranggotakan 40 orang). Jadi sejak dahulu di wajo telah dibentuk anggota dewan sama seperti yang ada di indonesia sekarang.
Seorang Raja/Arung yang diangkat harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan harus menghargai kebebasan atau kemerdekaan setiap individu yang ada di wajo. Di wajo ditanamkan sikap kemerdekaan yang tinggi, setiap raja harus menanamkan bahwa ”To Wajo’e Ri Laleng Tampu Mopi Na Maradeka” artinya “setiap orang wajo itu masihsejak di dalam kandungan dia sudah merdeka” jadi tidak satupun yang boleh merampas kebebasan tersebut sekalipun itu seorang raja.
Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948, adalah wilayah yang kemudian disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan masyarakat Wajo sejak masa kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan, sampai sekarang masih menjadi andalan mereka.
Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena kesediaan masyarakat Bugis waktu itu menghargai keberadaan para Arung atau raja. Para Arung atau raja adalah pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka. Pada masa kini, sebuah simbol barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya, untuk menyatukan masyarakat dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup bermasyarakat.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, beliau membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik disaat perang, pada zamannya beliau memajukan posisi wajo secara sosial politik diantara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral) Koronele (Kolonel) Manynyoro (Mayor) dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian bongayya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa’na Wajo. Sehingga kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring. Wajo dibawah RIS dalam hal ini NIT berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konfrensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten tepatnya ditahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja akhirnya menjadi kabupaten.
”Maradeka To Wajo’e Ade’na Napapuang” kata tersebut secara bebas berarti merdeka orang wajo hanya adat yang dijunjung/diabdikan. Tentu timbul pertanyaan mengapa filosofi tersebut bisa muncul dan menjadi pegangan orang-orang wajo bahkan sampai dijadikan lambang resmi dari Kabupaten Wajo.
Konsep kemerdekaan dari para raja dan cendekia Wajo:
Latenri Bali, Batara Wajo 1
“Maradeka to wajoe taro pasoro gau’na, naisseng alena, ade’na napopuang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, bertanggungjawab, tahu diri, hanya adatlah yang menjadi hukum penentu”
Adek amaradekangenna to Wajoe (Perjanjian Kemerdekaan Orang Wajo)
“Napoalebbirenggi to wajoe maradeka, malempu, namapaccing rigau salae, mareso mappalaong, namaparekki riwarangparangna”
Artinya :
“orang wajo lebih memilih merdeka, jujur, menghindari perbuatan tercela, ulet dan hemat”
Puang Ri Maggalatung, batara wajo IV
“Maradeka to wajoe najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tau makketanae maradekamaneng, rilaleng tampumupi namaradeka napoada adanna, napogau gauna ade’ assimaturusengmi napapoang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, lahir dengan merdeka, tanah yang jadi bawahan, setiap orang yang hidup di wajo merdeka semua, bebas berpendapat, bebas bekerja, hanya kata sepakat yang jadi pedoman hukum
Demikianlah kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani sifat para raja wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu mengikuti keinginan rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji manis. Raja wajo adalah orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan, sayang dengan rakyat, jujur, ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas berpendapat tetapi menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung. Marilah kita lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun, menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti ucapan salah satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan budaya ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan menjadi ”MARADEKA TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG”
(merdeka orang wajo, rasa malunya tinggi tapi cuma diam, andi(bangsawan) saja yang di tonjolkan/diabdikan/dijunjung/disanjung/dihormati)
Jadi jika ingin belajar tentan demokrasi tidak perlu jauh-jauh ke Luar Negeri, cukup membuka dan mempelajari sejarah dan catatan peninggalan masa lampau seperti dari Kerajaan Wajo.
Berikut kami tuliskan daftar raja-raja wajo. Daftar ini tidak dijamin kevalidannya, namun mudah-mudahan dapat menjadi salah satu referensi.
1. La Palewo to Palippu (±1474-1481)
2. La Obbi Settiriware (±1481-1486)
3. La Tenriumpu to Langi (±1486-1491)
4. La Tadampare Puangrimaggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
5. La Tenri Pakado To Nampe (±1524-1535)
6. La Temmassonge (±1535-1538).
7. La Warani To Temmagiang (±1538-1547).
8. La Malagenni (±1547)
9. La Mappauli To Appamadeng (±1547-1564)
10. La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
11. La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
12. La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
13. La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
14. La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
15. La Pakallongi To Alinrungi (±1621-1626)
16. To Mappassaungnge (±1627-1628).
17. La Pakallongi To Alinrungi (1628-1636),
18. La Tenri lai to Udamang (1636-1639)
19. Isigajang To Bunne (±1639-1643),
20. La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648).
21. La Temmasonge (±1648-1651)
22. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
23. La Tenri Lai To Sengngeng (±1658-1670)
24. La Palili To Malu’ (±1670-1679)
25. La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699),
26. La Tenri Sessu (±1699-1702)
27. La Mattone’ (±1702-1703)
28. La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
29. La Tenri Werung (±1712-1715)
30. La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
31. La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754)
32. La Mad’danaca (±1754-1755)
33. La Passaung (±1758-1761)
34. La Mappajung puanna salowo (1761-1767)
35. La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
36. La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
37. La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
38. La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
39. La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
40. La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
41. La Koro (±1885-1891)
42. La Patongai Datu Lompulle
Korte Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi bagian dari jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi Onder-Afdeling Wajo dibawah Afdeling Bone
43. Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
44. A.Oddangpero Datu Larompong (1926-1933)
45. A.Mangkona Datu Mario (1933-1949)
Pjs Arung Matowa (peralihan).
1. A.Sumangerukka datu pattojo (ex patola putra AMW 44) 1949
2. A. Ninnong (ex ranreng tuwa) 1949
Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
1. A.Pallawarukka (ex pilla)
2. A. Magga Amirullah (ex sulewatang pugi)
3. A. Pallawarukka (masa jabatan kedua)
Bupati (1957-sekarang)
Sebagaimana halnya daerah-daerah di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil, rasanya kurang lengkap bila tidak membahas salah satu kerajaan tertua yaitu Kerajaan Wajo. Pada masa jayanya, Kerajaan Wajo meliputi beberapa wilayah seperti Kabupaten Sidrap, Bone dan Soppeng serta seluruh wilayah Kabupaten Wajo saat ini. Menurut beberapa sumber, Wajo dibentuk sekitar tahun 1300-an oleh tiga pemimpin negeri, yaitu Bentengpola, Talok Tenreng dan Tuwa. Ketiga pemimpin negeri yang masing-masing disebut Arung ini sepakat membentuk kerajaan bersama yang Dipimpin oleh seorang Arung Matowa. Tahun 1948 adalah tahun berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, ketika pemerintah Republik Indonesia menghapuskan kekuasaan raja di daerah. Reruntuhan kerajaan yang nyaris tak berbekas seolah tak mampu mengungkap kebesarannya. Bahkan kini hanya tersisa satu komunitas pewaris Kerajaan Wajo, yaitu keluarga atau Rumpung Bentengpola. Rumpung Bentengpola merupakan komunitas yang menjadi pilar utama Kerajaan Wajo.
Saat ini komunitas itu memiliki seorang pemimpin yang masih dianggap sebagai raja, yaitu Datu Sangaji, Arung Bentengpola generasi ke-28. Secara administratif maupun struktural, Arung Bentengpola kini tidak memiliki kewenangan. Namun demikian, keberadaannya dianggap mewakili tokoh informal.
Beberapa saat yang lalu, Rumpung Bentengpola menggelar ritual penobatan ulang Arung Bentengpola, yang kini berusia 80 tahun. Pesta yang sudah lebih dari lima puluh tahun tidak pernah diadakan. Ritual yang hampir mirip dengan ritual perjamuan oleh sang raja ini, dilengkapi dengan semua bentuk kesenian yang dilakukan oleh Para Bissu. Bissu adalah para abdi kerajaan yang terdiri dari para waria.
Komunitas Arung Bentengpola yang masih tersisa sampai saat ini, bisa menjadi sebuah mosaik untuk memahami Kerajaan Wajo. Pemerintahan Kerajaan Wajo menempatkan Arung Bentengpola sebagai lembaga yang mengangkat dan melengserkan Arung Matowa atau raja Kerajaan Wajo. Inilah keunikan yang membedakan antara Kerajaan Wajo dengan kerajaan Bugis lainnya.
Sumber lain menyatakan bahwa Kerajaan Wajo didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu dengan putra Arumpone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Dimana posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
Masa keemasan Wajo dicapai di pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Wajo memeluk islam secara resmi ditahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal disana Wajo terlibat perang Makassar 1660-1669 disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bongayya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang.
Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi didaerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Raja Wajo, yang disebut sebagai Arung Matowa bukan merupakan jabatan yang turun temurun. Arung Matowa dipilih dari rakyat Wajo dan diangkat oleh perwakilan rakyat Wajo yang dipimpin Arung Bentengpola. Siapa sangka, kerajaan yang dibangun beratus-ratus tahun lalu ini memiliki sistem demokrasi yang modern. Sesungguhnya ini adalah warisan yang amat berharga bagi masyarakat kini.
Sejak dahulu kerajaan wajo tidak seperti halnya dengan kerajaan yang ada di sulawesi maupun yang ada di nusantara ini. Kerajaan wajo bukanlah milik kalangan tertentu atau bangsawan saja yang diwariskan secara turun temurun. Kerajaan wajo merupakan kerajaan bersama pemerintah dengan rakyat. Seorang raja diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui hasil keputusan rapat pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e (dewan adat beranggotakan 40 orang). Jadi sejak dahulu di wajo telah dibentuk anggota dewan sama seperti yang ada di indonesia sekarang.
Seorang Raja/Arung yang diangkat harus tunduk kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan harus menghargai kebebasan atau kemerdekaan setiap individu yang ada di wajo. Di wajo ditanamkan sikap kemerdekaan yang tinggi, setiap raja harus menanamkan bahwa ”To Wajo’e Ri Laleng Tampu Mopi Na Maradeka” artinya “setiap orang wajo itu masihsejak di dalam kandungan dia sudah merdeka” jadi tidak satupun yang boleh merampas kebebasan tersebut sekalipun itu seorang raja.
Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948, adalah wilayah yang kemudian disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan masyarakat Wajo sejak masa kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan, sampai sekarang masih menjadi andalan mereka.
Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena kesediaan masyarakat Bugis waktu itu menghargai keberadaan para Arung atau raja. Para Arung atau raja adalah pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka. Pada masa kini, sebuah simbol barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya, untuk menyatukan masyarakat dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup bermasyarakat.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, beliau membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik disaat perang, pada zamannya beliau memajukan posisi wajo secara sosial politik diantara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral) Koronele (Kolonel) Manynyoro (Mayor) dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian bongayya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa’na Wajo. Sehingga kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring. Wajo dibawah RIS dalam hal ini NIT berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konfrensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten tepatnya ditahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja akhirnya menjadi kabupaten.
”Maradeka To Wajo’e Ade’na Napapuang” kata tersebut secara bebas berarti merdeka orang wajo hanya adat yang dijunjung/diabdikan. Tentu timbul pertanyaan mengapa filosofi tersebut bisa muncul dan menjadi pegangan orang-orang wajo bahkan sampai dijadikan lambang resmi dari Kabupaten Wajo.
Konsep kemerdekaan dari para raja dan cendekia Wajo:
Latenri Bali, Batara Wajo 1
“Maradeka to wajoe taro pasoro gau’na, naisseng alena, ade’na napopuang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, bertanggungjawab, tahu diri, hanya adatlah yang menjadi hukum penentu”
Adek amaradekangenna to Wajoe (Perjanjian Kemerdekaan Orang Wajo)
“Napoalebbirenggi to wajoe maradeka, malempu, namapaccing rigau salae, mareso mappalaong, namaparekki riwarangparangna”
Artinya :
“orang wajo lebih memilih merdeka, jujur, menghindari perbuatan tercela, ulet dan hemat”
Puang Ri Maggalatung, batara wajo IV
“Maradeka to wajoe najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tau makketanae maradekamaneng, rilaleng tampumupi namaradeka napoada adanna, napogau gauna ade’ assimaturusengmi napapoang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, lahir dengan merdeka, tanah yang jadi bawahan, setiap orang yang hidup di wajo merdeka semua, bebas berpendapat, bebas bekerja, hanya kata sepakat yang jadi pedoman hukum
Demikianlah kearifan lokal dari budaya wajo, semoga kita bisa meneladani sifat para raja wajo yang selalu tunduk pada aturan, tidak serakah. Selalu mengikuti keinginan rakyat bukannya mempermainkan rakyat dengan janji-janji manis. Raja wajo adalah orang yang rendah diri, menghormati anggota dewan, sayang dengan rakyat, jujur, ulet, menghindari sifat tercela. Orang wajo bebas berpendapat tetapi menghindari kata-kata yang yang tercela apalagi menyinggung. Marilah kita lestarikan nilai kearifan budaya kita dengan tetap santun, menghormati kemerdekaan yang ada pada orang lain. Jangan sampai terjadi seperti ucapan salah satu pemerhati budaya wajo. Beliau menyatakan jangan sampe warisan budaya ammaradekangenna to wajoe (kemerdekaan orang wajo) kita salah artikan menjadi ”MARADEKA TO WAJOE MATANRE SIRI TAPI DE’ NAPPAU, ANDI’E NAPAPUANG”
(merdeka orang wajo, rasa malunya tinggi tapi cuma diam, andi(bangsawan) saja yang di tonjolkan/diabdikan/dijunjung/disanjung/dihormati)
Jadi jika ingin belajar tentan demokrasi tidak perlu jauh-jauh ke Luar Negeri, cukup membuka dan mempelajari sejarah dan catatan peninggalan masa lampau seperti dari Kerajaan Wajo.
Berikut kami tuliskan daftar raja-raja wajo. Daftar ini tidak dijamin kevalidannya, namun mudah-mudahan dapat menjadi salah satu referensi.
1. La Palewo to Palippu (±1474-1481)
2. La Obbi Settiriware (±1481-1486)
3. La Tenriumpu to Langi (±1486-1491)
4. La Tadampare Puangrimaggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
5. La Tenri Pakado To Nampe (±1524-1535)
6. La Temmassonge (±1535-1538).
7. La Warani To Temmagiang (±1538-1547).
8. La Malagenni (±1547)
9. La Mappauli To Appamadeng (±1547-1564)
10. La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
11. La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
12. La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
13. La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
14. La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
15. La Pakallongi To Alinrungi (±1621-1626)
16. To Mappassaungnge (±1627-1628).
17. La Pakallongi To Alinrungi (1628-1636),
18. La Tenri lai to Udamang (1636-1639)
19. Isigajang To Bunne (±1639-1643),
20. La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648).
21. La Temmasonge (±1648-1651)
22. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
23. La Tenri Lai To Sengngeng (±1658-1670)
24. La Palili To Malu’ (±1670-1679)
25. La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699),
26. La Tenri Sessu (±1699-1702)
27. La Mattone’ (±1702-1703)
28. La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
29. La Tenri Werung (±1712-1715)
30. La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
31. La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754)
32. La Mad’danaca (±1754-1755)
33. La Passaung (±1758-1761)
34. La Mappajung puanna salowo (1761-1767)
35. La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
36. La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
37. La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
38. La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
39. La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
40. La Cincing Akil Ali (±1859-1885)
41. La Koro (±1885-1891)
42. La Patongai Datu Lompulle
Korte Veklaring 1906 menyebabkan berubahnya status kerajaan Wajo menjadi bagian dari jajahan Belanda dan berubahnya struktur kerajaan menjadi Onder-Afdeling Wajo dibawah Afdeling Bone
43. Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
44. A.Oddangpero Datu Larompong (1926-1933)
45. A.Mangkona Datu Mario (1933-1949)
Pjs Arung Matowa (peralihan).
1. A.Sumangerukka datu pattojo (ex patola putra AMW 44) 1949
2. A. Ninnong (ex ranreng tuwa) 1949
Pemerintah Daerah era transisi (1950-1957)
1. A.Pallawarukka (ex pilla)
2. A. Magga Amirullah (ex sulewatang pugi)
3. A. Pallawarukka (masa jabatan kedua)
Bupati (1957-sekarang)
Lamaddukelleng
Mesjid kuno tosora merupakan mesjid
yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin Akbar Husain
yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan Nabi
Muhammad S.A.W
Salah satu peninggalan sejarah dari
puluhan peninggalan sejarah lainnya dikabupaten wajo yang yang masuk
dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid kuno yang
berada didesa Tosora Kecamatan Majauleng.
Tosora adalah daerah bekas ibu kota
Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi oleh 8 danau
kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah mulai dari
makam raja-raja wajo sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi
kerajaan.
Konon, mesjid yang memiliki arsitektur
berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar bujur sangkar tanpa
serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat ditemukan pada
daerah bekas ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa, Buton,
Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.
Bangunan Dinding mesjid ini dibuat dari
susunan batu-batu sedimen tidak sama dan menggunakan perekat semacam
kapur yang dicampur putih telur dan lokasi ini sering dijadikan sebagai
lokasi wisata sejarah.
Sementara, Dinding dari mesjid ini
mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum diketahui tingginya. Atas
prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah dibangun dilokasi mesjid
kolam untuk air wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99 centimeter, kolam
air Wudhu ini dibangun pada priode belakangan.
Kepada penulis, pesiarah mengatakan
bahwa mesjid ini sangat membutuhkan perhatian khusus karena ini
merupakan cagar budaya peninggalan sejarah dimana Tosora sebelumnya
adalah pusat ibu kota pada masa penjajahan dan sebelum adanya pemerintah
kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada masa batara dan arung
matowa.
Lebih lanjut dirinya menceritakan
proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada masa dulu dimana
katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur sebagai bahan
perekat dan pada masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa
kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan untuk pembuatan
mesjid.
“Dulu sesuai cerita rakyat antara
tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang tua kita
dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa
diguyur hujan meski hanya jalan kaki pada tahun 1985 ada ada peneliti
yang ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua bulan
baru mereka mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid,”
Jelasnya
Terkait dengan keberadaan cagar budaya
itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana pemeliharaan
karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai memudar
sehingga butuh perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding
mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau dicabut dikwatirkan akan merusak
keaslian bangunannya.
“Selain itu mesjid ini terkadang masih
digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang dari pulau jawa
untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada perbaikan
setidaknya bisa diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa ini
menggelar pengajian, mereka menggunakan alas seadanya,” Pintanya
Selain itu katanya, jika diberikan
lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian bagi pemuka
agama.”ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi akan
sangat bermamfaat jika dijadikan sebagai pusat perayaan acara
keagamaan,”
Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut
dalam silsila salah satu diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang
ke 19.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga penggagas mesjid kuno tosora itu.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga penggagas mesjid kuno tosora itu.
Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan
bahwa dalam silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan
keturunan Nabi Muhammad yang ke 19.
Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan
mengunakan nisan tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang
mantan ketua majelis dan makam ini ditandai dengan dua buah nisan
merian.
Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam
ini menyerupai dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni
dasar,badan dan kepala.
Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa
menggaku jika setelah dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu,
reskinya bertambah dan siarah ke makam itu bagi sebagian orang seakan
dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.
Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan
bahwa pada tiap tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang
berkunjung kemakam ini karena mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin
Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini adalah bagian dari
keluarga mereka.
Menurutnya, kata Alan Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu
para wali dipulau jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain
berumur lebih tua dari wali songo.
Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah
pengunjung dari berbagai daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau
dirinya adalah keturunan dari Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain.
“Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung
datang dari jawa, sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain
perna berada di india dan membantu penduduk india pada suatu peran untuk
memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang, Syeckh Jamaluddin
Akbar Hussain menghilang tanpa jejak,” Jelasnya
Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian
khusus dari pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa
arsitektur lain yang kini tergolong mempertihatinkan termasuk pagar yang
saat ini terlihat mulai rapuh.
Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid
Tua Tosora juga memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar
mendapatkan kesan kalau cagar budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata
sejara itu masih terawat.
1. Sumur Jodoh
Sumur jodoh
adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan air
dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut
salah satu warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau
kurang mempercayai sumur jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama
orang dari pulau Jawa saja yang banyak datang ke sumur jodoh ini dan meminta
untuk mendapatkan jodoh.
2. Geddong’e
Geddongnge
(Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada yang
mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan
barang-barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi
mengatakan bahwa bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang
uang).Geddongnge dibangun pada saman pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa
sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian lancar dan awal dicetuskannya
pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari batu gunung,
pasir, dan telur.
3. Benteng
Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal
pelaksanaanya setelah diadakan musyawarahantara arung matoa latentilai’ dengan penduduk negeri
mengenai rencena penyerangan belanda terhadap tosora. Pada abad
ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan
Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis
(Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk
membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa
dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh
armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian
Bungayya.
Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan
Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah
pimpinan Arung Palakka
4.
Mushallah
Tua Menge
Mushollah Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M.
Setelah selesai mesjid Tua Tosora dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak
masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah
dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M. Agama
islam berkembang terus sampai sekarang. Mushollah Tua yang dibangun pada tahun
yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua Tosora tercatat ada tujuh buah dengan
bahan baku yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.
Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa
mengalami hambatan. Mereka menerima kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan
Mushollah selalu dimanfaatkan setiap waktu sholat, mereka berjamaah bersama.
Mushollah Tua
Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua. Fisik
bangunan Mushollah Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua
dengan Mushollah kurang lebih 100m dari arah Timur.
5.
Makam
Lasalewangeng Tenriruwa
makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau
merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah menjadi raja di Limpo atau
Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan
memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun 1715 sampai
1736.
6.
Makam Lataddampare’
Puangrimaggalatung
Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung.
Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang
ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli
dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal
baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang
berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur
kira-kira tahun 1498 sampai 1528.
7. La Tenrilai’ Tosengngeng
La Tenrilai’
Tosengngeng adalah Arung Matowa Wajo ke-23. Ia diangkat menjadi Arung Matowa
setelah menggantikan Arung Matowa La Paremma Torewa Matinroe ri Passiringna
kira-kira tahun 1651-1658.
La Tenrilai’
Tosengngeng memegang tampuk pemerintahan dari tahun 1658-1670. Beliaulah yang
mendirikan Tosora menjadi Ibukota Kerajaan Wajo yaitu antara tahun1660-1670.
Peristiwa yang
sangat penting semasa pemerintahan La Tenrilai Tosengngeng adalah peperangan
yang timbul antara Gowa bersama sekutu-sekutunya disatu pihak dengan Bone
bersama Belanda di lain pihak.
Penyebab
kematian Arung Matowa La Tenrilai’ Tossengngeng karena kecelakaan, yaitu ketika
beliau membakar sumbu meriamnya untuk ditembakkan kepada lawan, beliau lupa
menutup tempat mesiunya, sehingga alat tersebut meledak dan mengena beliau,
akhirnya tewas seketika.
Ada beberapa
pendapat mengenai istilah wafatnya Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng. Ada
yang mengatakan Arung Palaiyyengi Musu’na (Raja yang meninggalkan
peperangannya) ada juga menggelarnya Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat
mesiunya).
Setelah Arung
Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng wafat beliau digantikan oleh La Palili Tomalu
Puangna Gella, saudara dari Ranreng Bettengpola
Makam Besse Idalatikka, seorang gadis cantik yang sangat To Palettei,
beliau meneruskan perjuangan melawan Bone dan Belanda.
8.
Makam Besse Idalatikka
ramah dan sopan.
Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo pada zamannya. Menurut
cerita makam besse idalatikka dibuat dengan memakai kayu di impor dari Malaysia
dan diukir di Kalimantan. Selain itu Makam Besse Idalatikka memang sudah di
pesan sebelum 2 bulan kematiannya.
9.
Saoraja Mallangga
WAJO merupakan
salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai tradisi
kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian
benda pusakapeninggalan kerajaan.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang terbuat dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti," ujarnya.
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang terbuat dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti," ujarnya.
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.
10.
Makam La Maddukkelleng
La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To’ Ma’dettia
dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To
Tenrirua.Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar
200-an meter arah selatan Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai
Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.Di dalam komplek
makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai
Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat
lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.
Bentuk
nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng
yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas
makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu
ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.
Makam
La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang
putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik)
berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu
berbentuk perisai, dan satunya segi empat.
Dari
Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat
memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang
menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros
menuju ke arah Kabupaten Soppeng.
Berada
persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek
makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar
25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab
Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit
bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran
makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis
tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa
kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil.
Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran
wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan
Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang
kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We
Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai.
Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun
1714.
Mungkin itulah sebabnya
Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada
abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga
dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama
sekitar 10 tahun (1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja
Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan)
dari tahun 1736 – 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang
memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu,
lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng
terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad
Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk
membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun
1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa
penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas,
Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya ‘Kiat-kiat Kepahlawanan
La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari
Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab
Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan
penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian
wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris
yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelar
Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan
yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris.
Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman
yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota
Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap
tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima
makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka
boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan
di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya
paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa
dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan
Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja)
Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
11.
Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti
sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk
huruf “L, I, U” dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan
bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda
khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa
sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru
tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo.
https://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.com/2017/11/5-tips-sukses-memasak-telur-dengan-cara.html
BalasHapushttps://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.com/2017/11/6-tanda-stres-pada-tubuh-jangan.html
https://kokonatsutrrrrrrrrrrrrr.blogspot.com/2017/11/gunung-agung-meletus-ekonomi-bali-bisa.html
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At Dominovip.com ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
- Skype : Vip_Domino
- WHATSAPP : +62813-2938-6562
- LINE : DOMINO1945.COM
- No Hp : +855-8173-4523