Rabu, 16 November 2016
RUNTUHNYA KERAJAAN BONE
Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Bone). Maka dengan gugurnya Petta Ponggawae sebagai Panglima Kerajaan waktu itu, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol dan dikatakanlah “RUMPA’NI BONE
Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Salah satu putra terbaik Tana Bone dalam peristiwa heroik itu adalah Arung Ponre, La Semma Daeng Marola atau lebih dikenal dengan nama Anre Guru Semma. Dia berasal dari Watapponre, yaitu sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan “kerajaan” Ponre. Pada jaman dahulu ketika Kerajaan Bone belum terbentuk, Ponre adalah sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung seperti halnya kerajaan-kerajaan kecil lain yang kemudian sama-sama melebur dalam kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-3 yaitu Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letaknya berada di puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang berada tepat ditengah-tengah antara Palakka, Ulaweng Bengo, Lappa Riaja, Libureng, Mare, Cina dan Barebbo, saat ini.
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November) Daeng Marola senantiasa mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo (perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE.
Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada belanda yang sangat lengkap persenjataannya, laskar Bone dibawah komando Panglima Perang Petta Ponggawae terdesak mundur dan bertahan di Cellu. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dentuman meriam-meriam Belanda disambut dengan tombak, parang, badik dan persenjataan seadanya oleh Laskar Bone. Keberanian laskar bone menyabung nyawa membuat serdadu belanda merinding. Tidak sedikit serdadu belanda yang tewas. Dalam pertempuran ini, Daeng Marola mengukir sejarah dengan keberaniannya yang pantang mundur sejengkalpun. Konon, dia hanya memilik tiga butir peluru, namun setiap kali ditembakkan, moncong senjatanya kembali berisi seolah tak pernah kehabisan peluru untuk menewaskan si Mata Pute, Belanda.
Pertempuran terus berlangsung. Panglima Kerajaan Bone Petta Ponggawae terus mengobarkan semangat perlawanan sambil terus meramu taktik agar Tanah Bone dapat tetap dipertahankan. Satu demi satu lascar kerajaan bone gugur sebagai pahlawan Tana Ugi. Daeng Marola pun akhirnya terluka lalu di tandu menuju Seroja (istana) tempat Mangkau (Raja) berada. Melihat kenyataan itu, Petta ponggawae segera mengirim pesan ke Istana agar kiranya Mangkau segera meninggalkan istana dan berlindung ke Palakka. Sang Raja menerima pesan tersebut dan mempertimbangkan segala sesuatunya. Terbayang nasib negeri Bone tercinta jika harus ditinggalkannya. Ia menantap permaisuri menunggu pertimbangan. Daeng Marola pun telah tiba di Istana. Setelah beberapa saat, Sang Mangkau lalu meminta pertimbangan Daeng Marola tentang isi pesan dari Petta Ponggawae. Dengan hormat Daeng Marola menyampaikan bahwa laskar Bone sulit untuk membendung serangan Belanda. Kekuatan persenjataan sungguh sangat tidak seimbang, perlu perubahan taktik dan starategi untuk bisa terus melawan. Daeng Marola memahami dan merasakan kegalauan sang Raja. Diyakinkannyalah Sang Raja bahwa Mundur bukan berarti kalah tetapi mundur selangkah untuk maju seribu kali.
Setelah menyimak pandangan yang diberikan oleh Daeng Marola, sedikit tenanglah kembali hati sang Raja. Persiapan segera dilakukan. Para pengawal telah siaga untuk melindungi perjalanan Sang Raja beserta keluarga menuju Palakka. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Sepeninggal Panglima Perang Petta Ponggawae, laskar-laskar kerajaan Bone terpencar-pencar. Meski perlawanan masih terus berjalan terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menyisir pusat-pusat pertahannya.
Perlawanan Rakyat Bone kini dilakukan dengan cara bergerilya dan berpindah-pindah. Dari Palakka, rombongan Mangkau kemudian pindah ke Passempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae menyertai Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo inilah pada tanggal 18 November 1905 M. Laskar Pemberani Kerajaan Bone di bawah komando Panglima Petta PonggawaE kembali bertemu dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen dan terjadi pertempuran habis-habisan. Pada saat itulah, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobo. Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar telah di kuasai oleh Belanda, La Semma Daeng Marola mangurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas terakhirnya disana dan disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ribajoe.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar