Mappabotting, Coba Simak Yuk Adat Istiadat Bugis Yang Unik Ini
Nah, hal ini juga terjadi pada pernikahan masyarakatnya. Pernikahan yang pada dasarnya merupakan penyatuan dua keluarga besar ini selalu dibumbui oleh adat istiadat yang melekat. Setiap daerah di Indonesia pun punya keunikan tersendiri pada perayaan pernikahan. Kamu bisa lihat salah satu contohnya pada proses pernikahan masyarakat Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis. Pernikahan adat Bugis ini tidak hanya mengikutsertakan keluarga inti kedua belah pihak, tapi juga keluarga besar untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).
Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga, serta memiliki pengetahuan agama.
Bila mana sudah ditentukan waktu pernikahan, maka selang satu minggu sebelum acara mappabotting ini berlangsung maka acara yang dilakukan yakni dinamakan ‘Accado-cado’ yakni seluruh keluarga berdatangan kerumah sang pengantin sebagai tanda rasa kebahagiaan karena ada keluarganya akan melaksanakan acara pernikahan, disanalah mereka dengan saling gotong royong bekerja dalam mempersiapkan segala kesiapan acara pernikahan.
Nah dari keunikan pada acara perkawinan suku bugis melambangkan bahwa masih ada suku yang sangat mempercyai dan disiplin tentang massa lampau, berikut bahan-bahan yang digunakan dalam upacara perkawinan orang Bugis di antaranya adalah:
- Sompa, yaitu mahar atau mas kawin dalam bentuk uang real sebagai syarat sah peminangan menurut Islam.
- Dui’ ménré atau dui’ balanca, yaitu sejumlah uang belanja dari mempelai pria sebagai syarat sah peminangan menurut adat. Uang tersebut digunakan membiayai pesta pernikahan mempelai wanita.
- Cicing passiok, yaitu cincin emas dari mempelai pria untuk mengikat mempelai wanita.
- Sarung sutera sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.
- Seperangkat peralatan dalam acara mappacci seperti daun pacar, bantal, pucuk daun pisang, lilin, bekkeng (tempat daun pacar dari logam), wenno (padi yang disangrai), dan daun nangka.
- Berbagai macam makanan dan kue-kue tradisional Bugis seperti beppa puteh, nennu-nennu, palopo, barongko, paloleng, sanggarak, lapisi, cangkueng, badda-baddang, dan lain-lain sebagainya.
- Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis, dan sebagainya.
Tahapan acara mappabotting dan istilah-istilah pada upacara adat perkawinan orang bugis:
- Pemilihan Jodoh
Kendati demikian, ketiga jenis perjodohan tersebut di atas bukanlah suatu hal yang diwajibkan. Dewasa ini, pria yang akan menikah dapat memilih jodoh dari luar lingkungan kerabat. Adapun perjodohan ideal selain dari kerabat adalah perjodohan yang didasarkan pada kedudukan assikapukeng, yaitu kedua mempelai memiliki stratifikasi sosial yang sederajat di dalam masyarakat, baik dilihat dari segi keturunan (bangsawan atau orang biasa), pendidikan, kedudukan dalam struktur pemerintahan, maupun harta kekayaan. Setelah jodoh yang telah dipilih dirasa sudah cocok, maka proses selanjutnya adalah mammanu’-manu’
- Mammanu’-manu’ (penjajakan)
- Madduta atan massuro (meminang)
Mahar dalam adat perkawinan orang Bugis dikenal sangat tinggi karena seorang laki-laki yang akan menikah tidak hanya diwajibkan memberi sompa atau mahar sebagai kewajiban seorang muslim, tetapi juga diwajibkan memberikan dui’ menré (uang naik) atau dui’ balanca (uang belanja) kepada pihak keluarga perempuan. Menurut Hadikusumah (1990:57), dui’ menré merupakan uang petindih, yaitu uang jemputan kepada pihak perempuan sebagai salah satu syarat sahnya pinangan atau pertunangan menurut adat. Dalam pembicaraan ini terjadi tawar-menawar antara To Madduta dengan To Riaddutai.
Besar kecilnya jumlah dui’ menré dalam perkawinan orang Bugis sangat dipengaruhi oleh status sosial pihak perempuan. Semakin tinggi status sosial keluarga perempuan semakin besar pula jumlah dui’ menré yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki (Abdullah, 1983:267). Oleh karena itu, pihak laki-laki yang diwakili oleh To Madduta harus pandai-pandai melakukan negosiasi kepada pihak keluarga perempuan. Jika kedua belah pihak telah menuai kesepakatan bersama masalah jumlah mahar berarti pinangan To Madduta diterima.
Setelah pinangan diterima, acara mappettu ada dilanjutkan dengan membicarakan masalah tanré esso atau penentuan hari perkawinan. Penentuan hari pada saat ini biasanya disesuaikan dengan penanggalan Islam. Setelah penentuan hari perkawinan selesai, selanjutnya ditentukan lagi hari untuk pertemuan berikutnya guna mengukuhkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Acara mappettu ada kemudian ditutup dengan jamuan makan bersama, di mana rombongan To Madduta disuguhi berbagai hidangan makanan yang terdiri diri kue-kue khas Bugis yang pada umumnya manis rasanya sebagai simbol pengharapan agar kehidupan kedua calon mempelai selalu manis (senang) di kemudian hari.
- Mappasiarekeng (mengukuhkan kesepakatan)
Pada acara mappasiarekeng tersebut pihak laki-laki juga menyerahkan dui’ menré—yang jumlahnya berdasarkan kesepakatan—kepada pihak perempuan untuk digunakan dalam pesta perkawinan. Penyerahan dui’ menré dan hadiah-hadiah lainnya diwakili oleh kerabat atau sahabat terdekat orang tua mempelai laki-laki.
- Mappaisseng dan mattampa (menyebarkan undangan)
Sementara itu, mattampa atau mappalettu selleng (mappada) adalah mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan yang rumahnya jauh, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Kegiatan ini biasanya dilakukan sekitar satu hingga sepuluh hari sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan. Tujuan dari mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan tentu saja dengan harapan mereka bersedia memberikan doa restu kepada kedua mempelai.
- Mappatettong sarapo/baruga (mendirikan bangunan)
Jika dalam pesta tersebut terdapat pementasan kesenian seperti kecapi Bugis, musik gambus, atau orkes, biasanya dibuatkan panggung di samping pelaminan. Pendirian sarapo atau baruga biasanya dilakukan tiga hari sebelum pesta perkawinan dilangsungkan oleh para kerabat dan tetangga dekat secara bergotong-royong. Dewasa ini, sarapo atau baruga sudah jarang digunakan karena tersedianya persewaan gedung atau tenda-tenda yang lengkap dengan segala peralatannya.
- Mappassau botting dan cemmé passili’ (merawat dan memandikan pengantin)
- Mappanré temme (khatam al-Quran) dan pembacaan barzanji
- Mappacci atau tudammpenni (mensucikan diri)
Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau mabbiasa, tampu’ sennu-sennuang, ri nia akkatta madécéng mammuaréi nalétéi pammasé Déwata Séuwaé
Artinya: Mappacci merupakan upacara yang sangat kental dengan nuansa bathin. Dimana proses ini merupakan upaya manusia untuk membersihkan dan mensucikan diri dari segala hal yang tidak baik. Dengan keyakinan bahwa segala tujuan yang baik harus didasari oleh niat dan upaya yang baik pula.
Acara mappacci dimulai dengan penjemputan (padduppa) mempelai untuk dipersilakan duduk di pelaminan. Acara penjemputan biasanya disampaikan oleh juru bicara keluarga melalui ungkapan berikut:
Patarakkai mai bélo tudangeng
Naripatudang siapi siata
Taué silélé uttu patudangeng
Padattudan mappacci siléo-léo
Riwenni tudammpenni kuaritu
Paccingi sia datu bélo tudangeng
Ripatajang mai bottingngé
Naripatteru cokkong di lamming lakko ulaweng
Artinya: Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudammpenni. Mappaci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntun dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas (Badruzzaman, 2007).
Setelah mempelai pengantin duduk di pelaminan berbagai perlengkapan disiapkan di depannya dengan cara disusun dari bawah ke atas yaitu satu buah bantal sebagai simbol mappakalebbi (penghormatan), tujuh lembar sarung sutera sebagai simbol harga diri, selembar pucuk daun pisang sebagai simbol kehidupan yang berkesinambungan, tujuh sampai sembilan daun nangka sebagai simbol ménasa (harapan), sepiring wenno (padi yang disangrai hingga mengembang) sebagai simbol berkembang dengan baik, sebatang lilin yang dinyalakan sebagai simbol penerangan, daun pacar yang telah dihaluskan sebagai simbol kebersihan atau kesucian, dan bekkeng (tempat pacci yang terbuat dari logam) sebagai simbol penyatuan dua insane.
Setelah semua perlengkapan siap, selanjutnya MC mulai mengundang satu persatu kerabat dan beberapa tamu undangan untuk meletakkan atau mengusapkan pacci ke telapak tangan calon mempelai. Orang-orang yang diundang biasanya orang yang memiliki kedudukan sosial yang baik dan kehidupan rumah tangganya bahagia. Hal ini dimaksudkan agar calon mempelai kelak dapat hidup seperti mereka. Jumlah orang yang diundang disesuaikan dengan status sosial calon mempelai. Untuk golongan bangsawan tertinggi terdiri dari sembilan orang dan setiap orang harus mengusapkan pacci ke tangan calon mempelai sebanyak dua kali. Dalam adat Bugis, jumlah tersebut biasanya disebutkan dalam bentuk angka yaitu 2 x 9 orang (duakkaséra). Untuk golongan bangsawan menengah berjumlah 2 x 7 orang (duakkapitu), sedangkan golongan di bawahnya berjumlah 1 x 9 atau 1 x 7 orang (Badruzzaman, 2007).
Adapun tata cara pelaksanaan pacci yaitu mula-mula orang yang telah ditunjuk mengambil sedikit daun pacci dari dalam bekkeng kemudian meletakkan atau mengusapkannya pada kedua telapak tangan calon mempelai yang dimulai dari telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri dengan disertai doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup bahagia. Pada saat orang-orang tersebut meletakkan pacci, sesekali indo’ botting (inang pengantin) yang duduk di samping mempelai menghamburkan wenno kepada calon mempelai maupun kepada orang-orang yang melettakkan pacci. Kemudian kepada orang telah memberikan pacci dihadiahi rokok sebagai penghormatan atau ucapan terima kasih doa restu yang telah diberikan kepada calon mempelai (Badruzzaman, 2007).
- Resepsi atau Pesta Perkawinan
- Mappénré Botting (mengntar pengantin)
- Madduppa botting (menyambut kedatangan pengantin)
- Akad nikah
Seperti halnya adat perkawinan suku bangsa lain yang menganut ajaran Islam, pelaksanaan akad nikah dilangsungkan berdasarkan urutan acara seperti berikut yaitu dimulai dari pembacaan ayat suci al-Quran, kemudian dilanjutkan pemeriksaan berkas pernikahan oleh penghulu, dan penanda tanganan berkas oleh kedua mempelai, wali, dan saksi-saksi. Khusus untuk mempelai wanita, penantanganan berkas dilakukan di dalam kamar karena ia tidak boleh keluar kamar selama proses akad nikah berlangsung.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali mempelai wanita kepada imam atau penghulu untuk proses ijab kabul. Ijab kabul dimulai dengan khutbah nikah oleh imam atau penghulu. Kemudian mempelai pria duduk berhadap-hadapan dengan imam atau penghulu sambil berpegangan ibu jari (jempol) tangan kanan. 2] Dengan bimbingan imam, mempelai pria mulai mengucapkan beberapa bacaan seperti istigfar, dua kalimat syahadat, shalawat, dan ijab kabul. Sighat atau kalimat ijab kabul yang disampaikan oleh mempelai pria harus jelas kedengaran oleh para saksi untuk sahnya akad nikah. Oleh karena itu, tak jarang mempelai pria harus mengulanginya hingga dua tiga kali (Pelras,2006:183).
- Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan pertama)
Setelah acara mappasikarawa selesai, kedua mempelai kemudian melakukan acara menyembah kepada kedua orang tua mempelai wanita dan keluarga-keluarga lainnya.
- Upacara nasehat perkawinan dan perjamuan
Selanjutnya upacara mappénré botting ditutup dengan upacara jamuan santap bersama. Pada zaman dahulu, upacara perjamuan dilakukan dengan cara melantai atau lesehan. Hidangan nasi dengan berbagai lauk-pauknya serta kue-kue tradisional khas Bugis digelar di lantai yang diberi alas kain panjang berwarna-warni. Namun, sejak adanya persewaan gedung dan tenda dengan segala perlengkapannya, perjamuan dilakukan dengan cara prasmanan. Dengan selesainya upacara perjamuan, maka seluruh rangkaian acara mappénré botting telah selesai. Rombongan mempelai pria berpamitan kepada pihak keluarga mempelai wanita. Sementara itu, pengantin pria tidak ikut serta dalam rombongannya karena ia harus melakukan acara mapparola bersama mempelai wanita.
- Marola atau mapparola
Setelah pemberian hadiah selesai, acara dilanjutkan dengan nasehat perkawinan oleh seorang ustadz yang tujuannya sama seperti nasehat perkawinan di tempat mempelai wanita. Selanjutnya, upacara mapparola ditutup dengan perjamuan kepada rombongan mempelai wanita dan para tamu undangan. Mereka disuguhi berbagai macam hidangan makanan dan kue-kue tradisional Bugis. Usai acara perjamuan, kedua mempelai bersama rombongannya massimang (mohon diri) kepada kedua orang tua mempelai pria untuk kembali ke rumah mempelai wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar